0 Komentar
Bagi anda yang ingin mempunyai filenya, silahkan download!.
Download Makalah Sejarah Pendidikan Islam (Pertumbuhan dan Perkembangan Pesantren di Indonesia)

Baca Makalah Lain:



Makalah Sejarah Pendidikan Islam (Pertumbuhan dan Perkembangan Pesantren di Indonesaia)

Makalah Sejarah Pendidikan Islam (Pertumbuhan dan Perkembangan Pesantren di Indonesaia)

BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan pendidikan Islam di indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam memainkan fungsi daan perannya sesuai dengan tuntutan zaman.

Perkembangan pendidikan Islam ditandai dengan kemunculan pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan islam. Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Oleh karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat disekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitas yang dilakukan di pesantren mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyaarakat.

Dalam makalah ini akan dijabarkan mengenai pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia, yang meliputi sejarah, karakteristik, sistem pendidikan, tradisi pesantren dan pengembangan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Sejarah Kemunculan Pesantren

Secara garis besar, ada dua pendapat mengenai kemunculan pesantren. Pendapat pertama mengatakan bahwa pesantren berasal dari tradisi pra-Islam. Sementara pendapat kedua mengatakan pesantren adalah model pendidikan yang berasal dari tradisi Islam.

Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi pesantren ini merupakan hasil adopsi dari model perguruan yang diselenggarakan orang-orang Hindu dan Budha. Sebagaimana diketahui  sewaktu Islam datang dan berkembang di pulau Jawa telah ada lembaga perguruan Hindu dan Budha yang menggunakan sistem biara dan asrama sebagai tempat para pendeta dan bhiksu melakukan kegiatan pembelajaran kepada para pengikutnya.

Pendapat A.H. Jhons dan C.C. Berg menganalisis, istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Istilah tersebut berasal dari istilah shanstri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shanstri berasal dari kata shanstra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.

Pendapat serupa dikemukakan oleh sejarawan Sugarda Purbakawactja. Menurutnya, terdapat beberapa persamaan antara unsur-unsur yang terdapat dalam sistem pendidikan Hindu dengan sistem pendidikan pesantren yang tidak terdapat dalam sistem pendidikan Islam yang asli di Makkah. Unsur-unsur yang dimaksud adalah seluruh sistem pendidikannya bersifat agamis, guru tidak mendapat gaji, penghormatan yang besar terhadap guru dan murid pergi meminta ke luar lingkungan pondok.

Bentuk pendidikan seperti ini kemudian menjadi contoh model bagi para wali dalam melakukan kegiatan penyiaran dan pengajaran Islam kepada masyarakat luas, dengan mengambil bentuk sistem biara dan asrama dengan merubah isinya dengan pengajaran agama Islam yang kemudian dikenal dengan sebutan pondok pesantren.  Pesantren muncul bersamaan dengan proses Islamisasi yang terjadi di Bumi Nusantara pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi, dan terus berkembang sampai saat ini.

Menurut M. Arifin sebagaimana dikutip oleh M. Abd Muin, mendefinisikan pondok pesantren yaitu suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seseorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang kharismatik serta independen dalam segala hal.

Lahirnya lembaga pendidikan pesantren sesungguhnya bisa dilacak sejak periode Walisongo. Namun keberadaan lembaga ini dalam pengertian modern hanya bisa ditemukan pada abad ke-18 dan 19. Pesantren merupakan lembaga pendidikan dengan bentuk khas sebagai tempat di mana proses pengembangan keilmuan, moral dan keterampilan para santri menjadi tujuan utamanya. 

B. Karakteristik Pesantren

Bentuk-bentuk pesantren yang tersebar luas di Indonesia mengandung unsur-unsur tertentu sebagai karakteristiknya. Secara umum pesantren dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern).

Sebuah pesantren disebut pesantren salaf jika dalam kegiatan pendidikannya semata-mata berdasarkan pada pola-pola pengajaran klasik atau lama, yakni berupa pengajian kitab kuning dengan metode pembelajaran tradisional serta belum dikombinasikan dengan pola pendidikan modern. Sedangkan pesantren khalaf atau modern adalah pesantren yang di samping tetap dilestarikannya unsur-unsur utama pesantren, juga memasukkan unsur-unsur modern yang ditandai dengan klasikal atau sekolah dan adanya materi ilmu-ilmu umum dalam muatan kurikulumnya. Pada pesantren ini sistem sekolah dan adanya ilmu-ilmu umum digabungkan dengan pola pendidikan pesantren klasik.

Dengan demikian, pesantren modern merupakan pendidikan pesantren yang diperbarui dan dipermodern pada segi-segi tertentu untuk disesuaikan dengan sistem sekolah.

Seiring dengan laju perembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sederhana seperti apa yang digambarkan seseorang akan tetapi pesantren dapat mengalami pertumbuhan dan perkembangan zaman. Sebagaimana yang dijelaskan Yaqub dalam “:Pondok pesantren dan pembangunan masyarakat desa” sebagai berikut:

a) Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode sorogan dan weton.
b) Pesantren khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
c) Pesantren kilat, yaitu pesantren yng tertentu semacam training dalam waktu relatif singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitikberatkan pada keterampilan ibadah dan kepemimpinan sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan di pesantren kilat.
d) Pesantren terintegrsai, yaitu pesantren yang mekekankan pada pendidikan vokasional atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di departemen tenaga kerja dengan program terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.

Ada tiga karakteristik yang dikenali sebagai basis kultur pesantren, yakni:
Pesantren sebagai lembaga tradisioanalisme
Tradisionalisme dalam konteks pesantren harus dipahami sebagai upaya mencontoh tauladan yang dilakukan para ulama salaf yang masih murni dalam menjalankan ajaran Islam agar terhindar dari bid’ah, khurafat, takhayul serta klenik.
Pesantren sebagai pertahanan budaya
Mempertahankan budaya dengan ciri tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Ide mempertahankan budaya ini telah mewarnai kehidupan intelektual dunia pesantren.
Pesantren sebagai pendidikan keagamaan
Pendidikan pesantren didasari, digerakkan dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam.

Unsur-unsur penting dan suasana yang menandai pendidikan pesantren yang dianggap sebagai elemen pokok sebuah pesantren menurut pandangan Dhofier yaitu kyai, pondok, masjid, santri dan pengajian kitab klasik. 


C. Orientasi Pendidikan Pesantren

Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan, melainkan juga dakwah. Akan tetapi, misi kedua itulah yang justru lebih menonjol. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indoseia selalu mencari lokasi yang sekiranya dapat menyalurkan dakwah tersebut tepat sasaran.

Dalam skala makro, sasaran pesantren adalah masyarakat luas. Keberadaan pesantren ditengah masyarakat sebagai suatu komunitas pada hakikatnya dalah membangun jalinan nilai spiritualitas dan moralitas sebagai tatanan nilai yang seharusnya dipraktekkan. Tanggungjawab pesantren adalah memberikan kontrol dan sekaligus stabilisator perkembangan kehidupan masyarakat yang sering menimbulkan ketimpangan kultural.

Secara umum, potret pesantren adalah sebuah asrama pendidikan islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu- ilmu keagamaan di bawah bimbingan seorang guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai. Asrama untuk para siswa berada dalam dalam kompleks pesantren dimana kiai bertempat tinggal.

Pesantren berperan sebagai lembaga yang mengembangkan nilai moral-spiritual, informasi, komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakatnya dan tempat pemupukan solidaritas umat. Menurut rumusan Azyumardi Azra, pesantren telah memainkan tiga peranan; transmission of islam knowledge (penyampaian ilmu-ilmu keislaman), maintenance of islam tradition (pemeliharaan tradisi islam), dan reproduction of ulama (pembinaan calon-calon ulama).

Pembaruan pesantren dilakukan dalam upaya merefungsionalisasi pesantren agar peranan dan sumbangannya sebagai pelaku pembangunan masyarakat dirasakan secara nyata. Pada konteks ini, lembaga pesantren menempatkan diri sebagai institusi dinamisator dan katalisator pembangunan masyarakat desa bukan hanya di bidang keagamaan, namun juga di bidang-bidang kehidupan sosial lainnya. Gejala tumbuhnya minat pesantren untuk mengembangkan program kemasyarakatan secara sederhana dibedakan dalam dua bagian. Pertama, program kemasyarakatan yang tumbuhdan dikembangkan oleh inisiatif pihak pesantren sendiri sedangkan yang Kedua adalah pendekatan program kemasyarakatan yang dikembangkan atas suatu kerja sama dengan pihak luar. Pesantren dalam kaitan dengan proses  pengembangan masyarakat bisa memosisikan dirinya sebagai pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan dan pusat pemberdayaan bidang masyarakat, di samping tugasnya sebagai lembaga pendidikan keagamaan. 

D. Sistem Pendidikan Pesantren

Tujuan pendidikan pesantren adalah setiap maksud dan cita-cita yang ingin dicapai pesantren, terlepas apakah cita-cita tersebut tertulis atau hanya disampaikan secara  lisan. Secara sederhana menurut Manfred yang mengutip pendapatnya Kamla Bhasin, bahwa secara umum tujuan pesantren mengikuti dalil, bahwa “ pendidikan dalam sebuah pesantren ditujukan untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin akhlak dan keagamaan. Diharapkan bahwa para santri akan pulang ke masyarakat mereka sendiri-sendiri, untuk menjadi pemimpin yang tidak resmi atau kadang-kadang pemimpin resmi dari masyarakatnya”.

Sebagai lembaga pendidikan islam, pesantren dalam merumuskan tujuan atau cita-citanya selalu merujuk pada nilai-nilai yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah, baik itu rumusan dalam bentuknya yang tertulis maupun yang disampaikan secara lisan oleh kyainya. Pesantren juga memperhatikan aspirasi masyarakat sekitarnya, karena itu pesan-pesan masyarakat juga diakomodasi dalam wujud kurikulum pesantren.

Dewasa ini, pembinaan dan pengembangan pesantren di samping dilakukan secara intern, pemerintah juga turut ambil bagian dalam upaya pengembangan pesantren dengan memberikan bimbingan. Bimbingan dan pembinaan yang dilakukan pemerintah memiliki arah (tujuan) sebagai berikut:

1. Meningkatkan dan membantu pondok pesantren, dalam rangka membina dan mendinamisir pondok pesantren di seluruh indonesia sehingga mampu mencetak manusia muslim yang bertaqwa, cakap berbudi luhur dan terampil bekerja, untuk membangun diri dan keluarnya serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan dan keselamatan bangsa.
2. Menetapkan pondok pesantren dalam mata rantai keseluruhan sistem pendidikan nasional, baik pendidikan formal maupun penddikan non formal dalam rangka membangun masyarakat seutuhnya dan perencanaan ketenagakerjaan yang menghasilkan masyarakat yang cakap sebagai tenaga pembangunan.
3. Membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai  ajaran islam, dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya, serta menjadikannya sebagai orang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.

Sebagian besar mata pelajaran di pesantren terbatas pada pemberian ilmu yang secara langsung membahas masalah aqidah, syari’ah, dan bahasa arab: yang meliputi antara lain al-Qur’an dengan tajwid serta tafsirnya; aqoid dengan ilmu kalamnya; fiqh dengan usul fiqhnya; hadits dengan mustholah haditsnya; dan bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sorof, bayan, ma’ani, badi’ dan arudi; tarikh, mantiq dan tasawuf.

Belajar di pesantren juga tidak sekedar mempelajarai naskah-naskah klasik, namun suasana keagamaan dan kebersamaan dengan beberapa kegiatan tambahan ikut menentukan pembentukan kepribadian santri. Kurikulum pesantren sebenarnya mencakup seluruh kegiatan yang dilakukan pesantren dalam waktu 24 jam. Suasana pesantren yang mencerminkan kehidupan sederhana, disiplin, rasa sosial, mengatur hidup sendiri, ibadah dengan tertib dan sebagainya, meberikan nilai tambah dalam keseluruhan proses belajar yang tidak bisa didapat di luar sistem pesantren.

Metode Pengajaran di Pesantren adalah bandongan atau wetonan dan sorogan. Metode bandongan dilakukan kyai atau guru membacakan teks-teks kitab yang berbahasa arab, menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal dan sekaligus menjelaskan maaksud yang terkandung dalam kitab tersebut. Metode ini dilakukan dalam rangka memenuhi kompetensi kognitif santri dan memperluas referensi keilmuan bagi mereka.

Metode sorogan dilakukan dengan menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perseorangan atau individu di bawah bimbingan seorang ustadz atau kyai. 

E. Tradisi Pesantren

Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris, tradition yang berarti tradisi. Dalam bahasa Indonesia, tradisi diartikan sebagai segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan lain sebagainya) yang turun temurun dari nenek moyang hingga anak cucu.

Selanjutnya kata pesantren berasal dari pesantrian, yang berarti asrama atau tempat murid-murid belajar mengaji. Dalam pengertian umum, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang didalamnya terdapat: pondokan atau tempat tinggal, kiai (pendidik), santri (anak didik), masjid dan kitab kuning.

Dengan demikian, kata tradisi pesantren adalah segala sesuatu yang dibiasakan, diapahami, dihayati dan dipraktikan di pesantren, yaitu berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk kebudayaan dan peradaban yang membedakannya dengan tradisi yang terdapat pada lembaga pendidikan lainnya.

Dalam hal ini, ada beberapa hal yang menunjukkan tradisi yang ada di pesantren, diantaranya :
1. Tradisi Rihlah Ilmiah
Rihlah ilmiah secara harfiah berarti perjalanan ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam arti yang biasa dipahami, rihlah ilmiah adalah melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah lain, atau dari satu negara ke negara lain, dan terkadang bermukim dalam waktu yang cukup lama, bahkan tidak kembali ke daerah asal, dengan tujuan utama untuk mencari, menimba, memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan, bahkan mengajarkannya dan menuliskannya dalam berbagai kitab.
2. Tradisi Menulis Buku
Menulis buku merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh para kiai pesantren. Beberapa ulama pimpinan pondok pesantren yang juga menulis kitab, diantaranya: Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-Tirmidzi, K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Hasyim Asy’ari dan masih banyak ulama lain lagi.
3. Tradisi Meneliti
Dilihat dari segi sumbernya terdapat penelitian bayani, burhani, ijbari, jadali dan ‘irfani.
4. Tradisi Membaca Kitab Kuning
Melalui tradisi membaca kitab kuning ini, para kiai pesantren telah berhasil mewarnai corak kehidupan keagamaan masyarakat pada khususnya dan kehidupan sosial kemasyarakatan pada umumnya. Kuatnya pengaruh ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dikalangan umat Islam, yang dicirikan dengan penggunaan paham Asy’ariyah dalam bidang teologi, penggunaan paham As-Syafi’i dalam bidang fiqh, dan penggunaan tasawuf al-Ghazali dan Imam al-Junaid terjadi karena pengaruh dari tradisi membaca kitab kuning oleh para kiai di pesantren, serta ceramah-ceramah yang mereka sampaikan di masayarakat.
5. Tradisi Berbahasa Arab
Seiring dengan adanya tradisi penulisan kitab-kitab oleh para kiai sebagaimana yang diterangkan sebelumnya dengan menggunakan bahasa Arab, maka dengan sendirinya telah menumbuhkan tradisi berbahasa Arab yang kuat di kalangan pesantren.
Selain itu pengguanaan bahasa Arab juga terjadi karena pengaruh dari kejayaan Islam di zaman klasik yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang kebudayaan dan peradaban, ilmu pengetahuan umum, seni budaya dan lainnya yang menggunakan bahasa Arab.
6. Tradisi Mengamalkan Thariqat
Masyarakat salafiyah yang dibangun oleh dunia pesantren itu mewujudkan kesatuan tak terpisahkan antara takwa dan akhlak, atau antara religiousitas dan etika.
Kuatnya tradisi pengalaman tasawuf dalam bentuk thariqat di pesantren telah dibuktikan dengan beberapa hal, seperti mengermatkan makam para kiai dan menziarahinya untuk memperoleh berkah.
7. Tradisi Menghafal
Menghafal adalah salah satu metode atau cara untuk menguasai mata pelajaran di pesantren. Metode ini dikatakan sebagai metode klasik yang digunakan di pesantren Timur Tengah, karena metode ini tidak membutuhkan biaya dan memacu belajar sungguh-sungguh dikalangan para santri. Metode ini semakin diintensifkan pengguanannya karena mereka yang hafal kitab-kitab tersebut dianggap santri yang cerdas dan berpotensi untuk menjadi kiai. 
8. Tradisi Berpolitik
Berkiprah dalam bidang politik dalam arti teori dan praktik juga menjadi salah satu tradisi di kalangan dunia pesantren pada umumnya. Lahirnya Nahdhatul Ulama (NU) pada 1926 yang kemudian pernah berubah menjadi salah satu parta politik yang ikut Pemilu pada tahun 70-an menunjukkan kuatnya tradisi berpolitik di kalangan pesantren.
9. Tradisi Lainnya
Tradisi lainnya yang dipraktikkan di pesantren yang lebih bersigfat sosial keagamaan, adalah tradisi poligami bagi kiai yang dilakukan dalam rangka mengahasilkan keturunan yang dapat menjadi kiai lebih banyak lagi. Selain itu terdapat pula tradisi ziarah kubur (terutama kuburan para kiai thariqat yang kharismatik), tradisi haulan (mengirim doa tahunan kepada pimpinan pesantren yang sudah meninggal), tradisi silaturahmi dengan sesama rekan santri.  

F. Pesantren dan Pengembangan Masyarakat

Pesantren merupakan salah satu model dari pendidikan berbasis masyarakat. Kebanyakan pesantren berdiri atas inisiatif masyarakat muslim yang tujuan utamanya adalah untuk mendidik generasi muda agar memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran islam dengan baik. Nilai-nilai keagamaan seperti ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (kerjasama), jihad (berjuang), taat, sederhana, mandiri, ikhlas dan berbagai nilai eksplisit dari ajaran islam lain yang mentradisi di pesantren ikut mendukung kelestariaannya.

Upaya pengembangan masyarakat (community development) yang dilakukan pesantren bisa mencakup empat aktivitas penting. Pertama, berupaya membebaskan dan menyadarkan masyarakat. Kegiatan ini bersifat subjektif dan memihak kepada masyarakat tertindas (du’afa) dalam rangka mengfasilitasi mereka dalam suatu proses penyadaran sehingga memungkinkan lahirnya upaya untuk pembebasan diri dari kemiskinan dan keterbelakangan. Kedua, ia menggerakkan partisipasi dan etos swadaya masyarakat. Pesantren perlu menciptakan suasana dan kesempatan yang memungkinkan masyarakat mengidentifikasi masalah mereka sendiri, merumuskan tujuan pengembangan mereka sendiri, menjadi pelaksana utama sendiri, melakukan evaluasi dan menindaklanjuti sendiri dan menikmati hasilnya. Ketiga, pesantren mendidik dan menciptakan pengetahuan. Keempat, pesantren memelopori cara mendekati masalah secara benar sehingga masyarakat mengetahui kebutuhan riilnya. Jadi masyarakat mampu mengintegrasikan antara penelitian dengan haksi dimana masyarakat sebagai pelaku utamanya.

Pesantren yang kebanyakan berada di pedesaan lebih memungkinkan baginya dalam memahami persoalan masyarakat desa. Bila di topang oleh perangkat keilmuan yang memberikan gagasan-gagasan segar soal pembangunan dan mampu di serapnya tentu akan mempermudah lembaga ini dalam mentransfernya kepada masyarakat desa. Arus kontak informasi dengan dunia luar serta intensitas interaksinya dengan masyarakat pedesaan memungkinkan institusi keagamaan ini untuk berfungsi sebagai tempat bertanya bagi masyarakat.

Pesantren memiliki potensi untuk mampu mengembangkan diri dan mengembangkan masyarakat sekitarnya. Potensi-potensi itu meliputi tiga aspek pertama, pondok pesantren hidup selama 24 jam, dengan pola 24 jam tersebut, baik pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan, sosial kemasyarakatan, atau sebagai lembaga pengembangan potensi umat dapat diterapkan secara tuntas, optimal dan terpadu.

Kedua, pondok pesantren secara umum mengakar pada masyarakat. Pondok pesantren banyak tumbuh dan berkembang umumnya di daerah pedesaan, karena memang tuntutan masyarakat yang ingin menghendaki berdirinya pondok pesantren. Dengan demikian, pondok pesantren dan keterikatanya dengan masyarakat merupakan hal yang amat penting bagi satu sama lain. Dalam konteks pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat, pondok pesantren dianggap telah menjalankan gerakan ini. Salah satu buktinya, kebanyakan pesantren memiliki program pengajian rutin yang dihadiri oleh warga sekitar pondok secara sadar tanpa paksaan. Ini adalah salah satu implementasi pendidikan berbasis masyarakat yang dijalankan oleh pondok pesantren.

Ketiga, pondok pesantren dipercaya masyarakat. Kecenderungan masyarakat menyekolahkan anaknya ke pondok pesantren tentu saja didasari oleh kepercayaan mereka terhadap pembinaan yang dilakukan oleh pondok pesantren yang lebih mengutamakan pendidikan agama.

Agar pesantren mampu menegaskan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat, maka pesantren dituntut untuk mendesain lembaga pendidikannya sebagai lembaga yang mampu menyiapkan santrinya sebagai komponen penting dalam pengembangan masyarakat. Kesadaran akan peran strategis pesantren inilah yang memaksa pesantren untuk memodernisir sistem pendidikannya secara integralistik/ terpadu. 


BAB III
PENUTUP

Proses  pendidikan di pesantren dapat dikatakan sebagai induk proses pendidikan yang  berkembang saat ini. Sejak awal, kurikulum pesantren yang lebih dominan berkaitan dengan pelajaran keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab kuning berbahasa Arab. Sedangkan pelajaran umum hampir sama sekali tidak dipelajari. Namun seiring dengan tuntutan zaman, sudah ada sebagian pesantren yang memasukkan pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, sehingga lahirlah pesantren-pesantren modern yang berupaya mengintegrasikan antara pengetahuan agama dan umum ke dalam kurikulumnya.

Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan asli Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al-Hadits secara baik dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Abd Muin M. dkk, 2007. Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren. Jakarta: CV. Prasasti.
Departemen Agama RI., 2003. Pola pembelajaran di Pesantren. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Dian, Nafi’ M. dkk. 2007 Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta : PT LKIS Pelangi Aksara.
Khozin.  2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah.
Nata, Abudin. 2012.  Sejarah Sosial Intelektual Islam cet.1. Jakarta: Rajawali Pers.
Zubadi. 2007.  Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Post a Comment

 
Top