Makalah Hadis Tarbawi (Intuisi Hati)
BAB I
PENDAHULUAN
Suatu ilmu pengetahuan memiliki sumber-sumber yang bisa diteliti, ditelaah, ataupun dicari oleh setiap orang. Hal ini dilakukan untuk memperoleh suatu ilmu pengetahuan guna menjadi manusia yang seutuhnya. Sumber-sumber ilmu pengetahuan tersebut banyak macamnya. Dari mulai persepsi indera (sense), melalui proses akal sehat, dari informasi yang benar (Al-Qur’an dan As-Sunnah), sampai pada intuisi hati.
Intuisi hati adalah fungsi dasar hati untuk selalu berkata jujur dan pembimbing seluruh anggota tubuh untuk bertindak dalam kebenaran. Karena hati merupakan pembimbing, maka tak heran jika hati merupakan unsur terpenting yang dimiliki oleh manusia baik dalam aspek jasmaniyah maupun dalam aspek rohaniah, yang bertindak sebagai pembeda antara hal yang baik dan hal yang buruk. Sesuai fitrahnya tersebut, seluruh manusia memiliki hati dengan fungsi yang sama, hanya saja diperlukan iman dan ketaqwaan untuk mematuhinya. Sebagian besar manusia sering mengingkari kata hati atau intuisi hati tersebut karena berbagai alasan keduniawian yang pada akhirnya justru menjerumuskan manusia tersebut ke dalam kemungkaran dan dosa. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya kita harus lebih bisa berhati-hati dalam ekspresi pengungkapan isi hati yang seyogyanya bisa dilakukan secara bijaksana sesuai dengan kadar kemampuan diri.
Dari sini kami mencoba mengungkapkan beberapa hadis yang berkaitan dengan intuisi hati, yang banyak mengandung nilai-nilai tarbawi dan sangat bermanfaat untuk kita pelajari.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
2. Teori Pendukung
a. Menyingkap Rahasia Hati
b. Sekilas tentang Hati
c. Struktur Hati
1. Shadr
2. Qalb
3. Fu’ad
4. Lubb
d. Penyakit Hati
1. Obat Hati
2. Sang Pengawas
3. Ritme Hati
e. Mengenali Potensi Hati
1. Mata Hati yang Cemerlang
2. Memiliki Ilmu Ladunni
3. Memperoleh Ilham
f. Mengenali Virus Hati
g. Mengarahkan dan Menetapkan Hati
3. Materi Hadits
a. Intuisi Hati
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ : اَلْحَلَالَ بَيْن وَالْحَرَامَ بَيْنَ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَهَاتٌ لَايَعْلَمُهَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَي الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَاَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَي حَوْلَ الْحِمَي يُوْشِكُ اَنْ يُوَاقِعَهُ اَلَا وَاِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَي اَلَا اِنَّ حِمَي اللهِ فِي اَرْضِهِ مَحَارِمُهُ اَلَا وَاِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَتً اِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَا فَسضَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُذلُّهُ أَلآ وَهِيَ الْقَلْبُ : (رواه البخاري في الصحيح, كتاب الإيمان , باب فضل من استحب الدين)
b. Tarjamah
Nu’man bin Basyir bercerita bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Perkara yang halal telah jelas dan yang diragukan yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara yang diragukan itu berarti dia memelihara agama dan kesopanannya. Barangsiapa mengerjakan perkara yang diragukan, sama saja dengan penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang, dikhawatirkan dia terjatuh ke dalamnya. Ketahuilah, semua raja mempunyai larangan dan ketahuilah pula larangan ALLAH SWTadalah segala yang di haramkan-Nya. Ketahuilah dalam tubuh itu semuanya. Apabila daging itu rusak, maka binasalah tubuh itu seluruhnya. Ketahuilah, daging tersebut ialah hati”. (HR. Bukhari)
c. Mufrodat
d. Biografi Rawi
1) Imam Bukhori
2) Nu’man bin Basyir
e. Keterangan Hadits
Hadis ini disepakati atas kedudukanya yang agung dan faedahnya yang banyak. Hadis ini merupakan hadis yang merangkum ajaran-ajaran Islam. Abu Dawud berkata: “Hadis ini merangkum seperempat ajaran Islam. Barang siapa yang merenungkannya dia akan mendapatkan semua kandungan yang disebutkan diatas karena hadis ini mencakup penjelasan tentang halal, haram, dan syubhat, apa yang maslahat dan yang akan merusak hati. Semua ini menuntut untuk mengetahui hukum-hukum syariat, pokok-pokok dan cabang-cabangnya. Hadis ini juga merupakan dasar bagi sikap wara’ yaitu dengan meninggalkan yang syubhat (samar)”.
Dalam hadis ini, yang halal sudah jelas dan yang haram sudah jelas dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar). Imam An-Nawawi berkata: ”Bahwa perkara itu ada tiga: yang jelas-jelas halal, dan tidak tersembunyi keadaannya. Seperti memakan roti, berbicara, berjalan, dan sebagainya. Kedua, yang jelas-jelas haram seperti khamr, zina, dan lain-lain. Adapun yang syubhat artinya tidak jelas halal atau haramnya. Oleh karena itu, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Adapun para ulama mengetahui hukumnya berdasarkan nash atau qiyas (analogi). Apabila ada keraguan antara halal dan haram dan tidak ada nash dan ijma’, maka seorang mujtahid berijtihad dalam masalah itu, lalu mengkategorikan masalah itu kepada salah satu hukum (halal atau haram) berdasarkan dalil syar’i.
Meninggalkan syubhat adalah wujud sikap wara’. Sikap ini direalisasikan dengan tidak bermuamalah bersama orang yang hartanya mengandung syubhat, atau bercampur dengan riba, atau terlalu banyak mengandung unsur-unsur mubah sehingga meninggalkan yang lebih utama. Adapun jika sampai kepada derajat was-was dengan mengharamkan sesuatu yang belum jelas, maka hal itu tidak termasuk syubhat yang harus ditinggalkan.
Perkara syubhat itu bermacam-macam, Ibnu Al-Mundzir membaginya kepada tiga bagian, yaitu: sesuatu yang diketahui oleh orang-orang sebagai barang haram, kemudian diragukan apakah ia masih tetap haram atau sudah menjadi halal, maka tidak boleh segera menganggapnya halal kecuali jika sudah diyakini. Selanjutnya kebalikannya yaitu perkara yang halal kemudian ada keraguan bahwa ia menjadi haram. Dan yang terakhir sesuatu yang kehalalan dan keharamannya diragukan dengan tingkatan yang sama dan yang lebih utama adalah meninggalkannya.
Ucapan para salafus saleh tentang meningggalkan syubhat. Abu Darda berkata ”Kesempurnaan takwa adalah seorang hamba takut kepada ALLAH SWT, sehingga dia takut kepada benda kecil sekecil apapun. Ketika dia meninggalkan sesuatu yang dipandang halal karena khawatir akan menjerumuskan kepada yang haram sehingga dia terhindar dari yang haram.
Setiap raja memiliki daerah larangan dan daerah larangan ALLAH SWT di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan. Tujuan penyebutan contoh seperti ini adalah untuk lebih menjelaskan sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang konkret. ALLAH SWT memiliki wilayah-wilayah larangan di atas bumi-Nya, yaitu perbuatan-perbuatan maksiat dan hal-hal yang diharamkan. Barang siapa yang mendekatinya dengan menerjuni hal-hal yang syubhat, maka dia hampir terjerumus ke dalam yang diharamkan.
Selamatnya hati, selamatnya jasad tergantung pada selamatnya hati karena hati (jantung) merupakan organ terpenting di dalam tubuh.
B. Hadits 2 Intuisi Hati
عَنْ أَنَسِ بنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (مَنْ عَمِلَ بِمَا
يَعْلَمْ وَرثَهُ الله عِلْمَ مَالَمْ يَعْلَمْ ) (رواه أبو نعيم الأصفهاني فى
حلية الأولياء(
1. Tarjamah
Dari Anas bin Malik sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Siapa yang mengamalkan apa yang ia ketahui, maka ALLAH SWT akan memberikan ilmu sesuatu yang ia belum ketahui”. (HR. Abu Na’im al-Ashfihan dalam kitab Khilyatul Ashfiya’: 10/15)
2. Mufrodat
3. Biografi Rawi
a. Nu’man bin Basyir)
b. Anas bin Malik
4. Keterangan Hadits
Hadits tersebut menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan pada diri manusia tidak akan berkurang atau hilang dengan mengajarkannya pada orang lain, tapi justru akan bertambah. ALLAH SWT akan mewariskan ilmu yang belum ia ketahui, maknanya ialah bahwa ALLAH SWT akan menambahkan keimanan dan menerangi bashirahnya serta akan membukakan untuknya berbagai cabang ilmu. Oleh karena itu Anda mendapatkan seorang alim yang beramal akan bertambah ilmunya dan ALLAH SWT akan memberkahi waktu dan ilmunya. Dalilnya dalam Al-Qur’an, firman ALLAH SWT: “Dan orang-orang yang mendapat petunjuk ALLAH SWT menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketaqwaannya”.
5. Refleksi Hadits dalam Kehidupan
Diri kita ini tidak hanya berwujud fisik belaka. Namun, ada satu hal yang lebih penting, bahkan menjadi inti dari kehidupan kita, yaitu hati. Jika kebutuhan fisik berupa makanan dan minuman telah terpenuhi dengan baik, apakah kebutuhan hati atau kalbu juga sudah terpenuhi dengan baik? Jangan-jangan, kita tak memiliki kesempatan sedikit pun untuk memenuhinya sehingga kalbu kita mengering, gersang, dan lama-kelamaan mati dengan sendirinya.
Pemenuhan kebutuhan bagi hati adalah dengan menerima dan tunduk pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Dalam bekerja, cobalah hidupkan hati kita. Dengarkanlah, bisikan-bisikan kebenaran yang disuarakannya. Jujurlah dengan suara-suara itu. Sadarkan dan pahamkan diri ini untuk mau mengikutinya. Ingatlah, selama ada keinginan, di situ ada jalan kemudahan.
Sejatinya, hati akan selalu membisikkan nilai-nilai kebaikan pada diri ini. Ia memiliki keinginan agar diri kita tetap berada di jalan kesucian, tidak dikotori oleh keburukan, keterpurukan, dan kehinaan. Cobalah renungkan saat kita akan melakukan suatu pekerjaan atau aktivitas. Tentu, akan terdengar dua bisikan suara yang menggema dalam diri kita. Sebuah suara mengajak pada kebaikan, sementara suara lainnya mengajak pada keburukan.
Sebagai contoh termudah, adalah saat Anda membaca buku. Tentu, akan terdengar dua bisikan suara: ‘Ubah sikap dan ikuti apa yang disampaikan di buku ini,’ atau , ‘Jangan ikuti tulisan dalam buku ini, ini kan hanya tulisan, buat apa mengikutinya?’. Di saat Anda mengikuti bisikan pertama, berarti Anda telah memenangkan pertarungan. Anda telah memenangkan hati nurani dan mengikuti ajakan malaikat. Dengan demikian, hati nurani telah dipenuhi Cahaya Ilahi. Sebaliknya, jika Anda mengikuti bisikan kedua, berarti Anda telah memenangkan nafsu atau bersekutu dengan setan untuk memadamkan cahaya hidayah yang sedang menyala dalam diri Anda.
Begitu pula dalam kehidupan kerja kita. Ikutilah bisikan-bisikan kebaikan dan kebenaran disetiap langkah kerja kita. Buang jauh-jauh ajakan kemungkaran. Jika mampu melakukannya, ALLAH SWT akan selalu memberikan pertolongan, membukakan jalan kemudahan, serta rizqy yang halal dan berkah. Ingatlah, sesungguhnya sejak awal penciptaannya, hati ini selalu condong pada kebaikan dan kebenaran. Karena itu, janganlah menolak dan memaksa diri kita untuk membohongi hati demi menerima kebenaran.
6. Aspek Tarbawi
Hadits 1
a. Bahwasanya yang dapat memilah dan memilih apakah suatu hal meragukan atau tidak adalah hati, maka sangatlah penting bagi setiap muslim untuk mendengarkan kata hatinya (intuisi hati), bila hatinya meragukan hukum dari suatu hal maka lebih baik dia menghindari atau tidak melakukannya. Keragu-raguan tersebut dapat ditimbulkan oleh adanya dua hal : ketidaktahuan seseorang akan hukum suatu hal dan belum ditentukannya hukum akan hal tersebut.
b. Dalam hadits tersebut di atas dikemukakan bahwa bila hati seseorang baik maka akan baik pula seluruh tubuhnya, maksud dari potongan hadits tersebut adalah pada fitrahnya hati semua manusia itu baik dan hanya mengajak ke hal-hal yang baik, namun demikian, pada sebagian besar manusia hatinya tidak terlatih utuk menyuarakan kebenaran lebih keras dan kemudian menegakkan niat yang terimplementasi ke dalam perbuatan. Hasilnya apa yang dilakukan oleh orang-orang tersebut adalah pengingkaran terhadap hati dan cenderung merupakan perbuatan-perbuatan yanng diharamkan atau yang diragukan kehalalannya. Jika hal ini terus menerus dilakukan dan menjadi sebuah kebiasaan serta tidak adanya usuha-usaha perbaikan maka jadilah apa yang disebut dalam hadits sebagai hati yang rusak atau yang tidak baik dan membawa kerusakan atau keburukan ke dalam semua perbuatan manusia itu sendiri.
Hadits 2
a. Setiap muslim yang telah memiliki ilmu akan suatu hal (yang tidak bertentangan dengan agama) wajib mengamalkannya dalam bentuk perbuatan dan mengajarkanya pada orang lain
b. Tidak diperkenankan bagi muslim untuk menyembunyikan ilmunya, tapi juga tidak diperkenankan untuk pamer dengan tujuan membanggakan diri dan merendahkan orang lain.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan di atas dapat diketahui pentingnya hati dalam kehidupan manusia dan pentingnya mendengarkan intuisi hati serta mengikutinya termasuk intuisi hati untuk berbagi ilmu pengetahuan dengan sesama, karena dengan cara berbagi tersebutlah ilmu pada diri manusia tidak berkurang atau habis tapi justru bertambah. Untuk mencapai pertambahan ilmu tersebut hal lain yang juga penting untuk dilakukan adalah mengamalkan, melakukan atau mewujudkan ilmu tersebut dalam wujud perbuatan yang membawa kemaslahatan bagi diri sendiri dan umat.
Selengkapnya
Lihat Makalah Lain :
Post a Comment