Download Makalah Lain :
Analisis Terhadap Psikologi Agama
Pengaruh Psikologi Agama Terhadap Perilaku Peserta Didik
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Power Point
Untuk anda yang ingin mendownload filenya, berbentuk (.docx)
Silahkan klik link dibawah ini!.
BAB I
PENDAHULUAN
I.Latar
Belakang
Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugasnya sesuai dengan apa yang penulis harapakan. Shalawat dan
salam tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad saw, yang tentunya merupakan
satu-satunya nabi yang dapat member syafaat kepada umat manusia. Dan
mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan syafaat. Amin.
Dalam
kesempatan ini kami
akan membahas tentang sesuatu yang berkaitan dengan metode memproduk hukum
islam, yang selama ini kita ketahui bahwa para ulama' dalam setiap mengeluarkan
produk hukum pasti menggunakan metode yang berbeda-beda. Meskipun para ulama'
berbeda dalam metode yang mereka gunakan, tetapi yang menjadi sumber utama
tetap sama yaitu Al-qur'an dan As-sunnah. Salah satu metode yang di gunakan
oleh para ulama' yaitu Madzhab Shahabi dan Dzari’ah. Yang merupakan salah satu dari
sekian metode yang telah digunakan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
akan membahas tentang Madzhab Shahabi dan Dzari’ah.
II. Rumusan masalah
- Pengertian
madzhab sahabi dan dzari’ah?
- Kondisi Sahabat pasca Nabi Muhammad?
- Kehujjahan
madzhab sahabi dan dzari’ah?
- Pandangan para ulama terhadap madhab sahabi?
- Macam-macam madzhab sahabi dan dzari’ah?
- Pengertian Saad Dzariah dan fath Dzari’ah?
- Kedudukan dan dasar Hukum saad dzari’ah?
III. DATA
Ada beberapa dalil madzhab sahabi yang tidak
disepakati oleh ulama tentang nilainya sebagai hujjah, diantaranya pendapat
sahabat. Dalam hal ini Jumhur Ulama berpendapat bahwa pendapat sahabat tidak
menjadi hujjah, karena Allah tidak mengharuskan kita untuk mrngikutinya. Kita
hanya diperintahkan mengikuti Al-Qur’an dan A-Sunnah dan para sahabat bukanlah
orang-orang yang mashum. Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat sahabat
dalam masalah Ijtihad.
Pendapat kedua menetapkan bahwa
pendapat sahabat menjadi hujjah dan didahulukan daripada qiyas. Dan pendapat
ketiga menyatakan bahwa pendapat sahabat mejadi hujjah apabila dikuatkan dengan
qiyas atau tidak berlawanan dengan qiyas. Sedangkan Dzari’ah diakui dan dipakai
oleh sebagian besar ulama madzhab sebagai salah satu metode dalam istinbath
hukum, walaupun ada perbedaan dalam bagian-bagian tertentu. Bahkan ‘Allal
al-Fasy, berpandangan bahwa dzari’ah baik menutup peantara yang membawa kepada
mafsadat maupun membuka perantara yang membawa mashlahat. Pada dasarnya
merupakan bagian dari Maqasid al-Syari’ah. Lebih dari itu, dzari’ah merupakan
salah satu sarana bagi pembaharuan Hukum Islam, sehingga bisa mengikuti
perkembangan zaman.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Mazhab Shahabi
Kitab-kitab ushul
fiqih banyak membahas tentang persoalan Madzhab Shahabi. Ada yang memberinya
nama qaul sahabat ( perkataan sahabat ) atau juga fatwa sahabat ( fatwa sahabat
). Dalam kitab ushul fiwih dijelaskan bahwa Fatwa sahabat adalah
ما أفتى به صحا بي من الضحابة الكبار
Artinya :
“ Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang
ulama shahabi.”
Atau juga
قتوى الصحا بي بإنفراده قوله
Artinya :
“Fatwa sahabat ( Nabi ) yang
berbentuk ucapan dengan dasar ( pendapat ) pribadinya.”
Jadi secara
sederhana adalah fatwa yang berbentuk ucapan yang dikeluarkan oleh seseorang
ulama sahabat. Atau pengertian lain ialah pendapat sahabat rasulullah tentang
suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan
Sunnah Rasulullah.
Sedangakan yang
dimaksud shahabat seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al- Khatib,
ahli hadis berkebangsaan Syiria, dalam karyanya ushul al-hadis adalah setiap
orang muslim yang hidup bergaul bersama rasulullah dalam waktu yang cukup lama
serta menimba ilmu dari Rasulullah. Misalnya, Umar bin Khattab, ‘Abdullah bin
Mas’ud, Zaid bin Sabit, ‘Abdullah bin Umar bin Khattab, ‘Aisyah, dan ‘Ali bin
Abi Thaib. Atau juga ada yang mengartika bahaw sahabat adalah seorang yang
hidup pada masa nabi atau pernah bertemu dengan beliau dan mati dalam Islam.
B. Kondisi Sahabat
Pasca Nabi Muhammad
Setelah rasulullah
wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal
fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat islam daan membentuk hukum. Hal itu
karena merekalah yang paling lama bergaul dengan rasulullah dan telah memahami
Alquran serta hukum-hukumnya. Dari merekalah keluar fatwa-fatwa mengenai
peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tait tabi’n
telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara
mereka ada yang mengkodifikasikannya bersama sunnah-sunnah rasul, sehingga fatwa-fatwa
mereka dianggap sumber-sumber hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang
mujtahid harus mengembalikan sesuatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum
kemabali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat
ijtihadi bukan atas nama umat islam.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa pendapat para sahabat diianggap sebagai hujjah bagi
umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Ini karena
pendapat mereka bersumber langsung dari rasulullah. Dan mereka mengetahui
tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari
dalil-dalil yang qath’I, seperti kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk
nenek yang mendapat bagian seperenam, ketentuan tersebut wajib diikuti, karena
tidak diketahui adanya perselisihan dari umat Islam.
C. Kehujjahan Madzhab Shahabi
Para ulama sepakat bahwa pendapat sahabat Nabi tidak menjadi alasan (
hujjah ) bagi sahabat yang lain. Yang
menjadi pertentangan adalah apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah
bagi orang yang hidup sesudah masa sahabat. Berkaitan dengan ini ada empat
pendapat ulama, yaitu :
1.
Pendapat sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara
kesuluruhan. Ini adalah pendapat jumhur ulama yang terdiri dari ulama asy’ariyah,
mu’tazilah, syi’ah, pendapat yang kuat di kalangan ulama syafi’iyah, salah satu
riwayat dari Ahmad bin Hanbal, ulama mutaakhirin hanafiyah dan malikiyah, dan Ibnu
Hazm dari madzhab Zhahiri.
2.
Pendapat sahabat dapatdijadikan hujjah dan didahulukan dari pada
qiyas,. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama hanafiyah, malikiyah, qaul
qadim al-Syafi’I, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal.
3.
Pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah apabila tidak bertentangan
dengan perkataan sahabat yang lain. Dalam hal seperti ini, perkataan sahabat
didahulukan dari pada qiyas. Akan tetapi, jika berlawanan dengan perkataan
shahabat yang lain, maka dipilih yang sesuai dengan kandungan Kitab Suci, hadis
ijma’, dan qiyas. Ini Pendapat Imam as-syafi’I dalam qaul jadid nya.
4.
Pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah apabila bertentangan
dengan qiyas, karena dengan perlawanan itu berarti pendapat sahabat bukan bersumber
dari qiyas, tetapi dari sunnah. Pendapat terakhir ini bersumber dari kalangan
hanafiyah.
Al-Syaukani cenderung
untuk tidak menerima pendapat sahabat sebagai hujjah dan metode ijtihad. Menurutnya,
memang kedudukan para sahabat dipandang lebih tinggi karena kedekatan mereka
dengan Nabi, namun mereka tidak memiliki wewenangan menentukan syari’at.
D.
Pandangan para ulama terhadap madzhab shahabi
Secara
umum, adanya perbedaan pendapat biasanya terjadi pada pendapat sahabat yang
keluar dari pendapat sendiri, belum ada kesepakatan dari sahabat yang lain.
Menurut Abu Hanifah bahwa pendapat seorang shahabat itu sebagai hujjah, karena
beliau apabila ada permasalahan yang tidak terdapat dalam Alquran dan Assunnah
beliau mengambil pendapat sahabat yang dia kehendaki. Beliau juga tidak
memperkenankan untuk menentang pendapat-pendapat mereka keseluruhan. Menurut
Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian
sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma; diantara keduanya. Oleh
karena itu, kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah
keluar dari ijma’ mereka.
Berbeda
dengan imam Syafi’I beliau berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan
saahabat tidak dipandang sebgai hujjah. Beliau memperkenankan untuk menentang
Pendapat mereka secara keseluruhan, dan melakukan ijtihad untuk
menginsitnbathkan pendapat lain. Alasannya, pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang
tidak ma’sum.
E.
macam-macam Madzhab sahabi Menurut ibu Qayyim al-jauziyyah.
Menurut
Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lam al- Muwaqqi’in mengatakan bahwa shahabat tidak
keluar dari enam bentuk berikut yaitu :
1.
Fatwa yang didengar shahabat dari Nabi Muhammad.
2.
Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi Muhammad
3.
Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap ayat Alquran yang
masih belum jelas maksudnya bagi kita.
4.
Fatwa yang disepakati oleh
tokoh-tokoh shahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang ssahabat.
5.
Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya, baik bahasa
maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi Muhammad dan
maksud-maksudnya, tentang keadaan nabi Muhammad dan maksud-maksudnya.
Kelima model fatwa ini wajjib untuk diikuti.
6.
Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari nabi
Muhammad, dan pemahamannya itu salah. Yang seperti ini tidak menjadi hujjah.[1]
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan membagi Pendapat sahabat ke
dalam empat kategori yaitu :
a)
Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu
Mas’ud, bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, dan batas minimal mas kawin
sebanyak sepuluh dirham. Fatwa- fatwa seperti bukan merupakan merupakan hasil
ijtihad sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka terima dari RAsulullah.
Oleh Karena itu, fatwa seperti ini dapat dijadikan landasan hokum bagi generasi
selanjutnya.
b)
Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka
dikenal dengan ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini dapat dijadikan pegangan bagi
generasi seseudahnya.
c)
Fatwa shabat secara perseoragb yang tidak mengikat sahabat lain.
Para mujtahid memang berbeda Pendapat dalam satu masaah, namun dalam hal ini
fatwa seorang sahabat tidak mengikat sahabat lain.
d)
Fatwa sahabat secara perseorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan
ijtihad. [2]
Dzari’ah
A. Definisi
Dzari’ah
Ditinjau dari
segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”, sebagian ulama mengkhususkan
pengertian dzari’ah degnan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemadaratan. Akan tetapi, Pendapat tersebut ditentang oleh para
ulama ushul fiqih lainnya, diantaranya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang mengatakan
bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada
juga yang dianjurkan., lebih tepat kalau dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu Sadd
Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah.
Dengan demikiann yang dilihat dalam adzariah ini adalah perbuatan-perbuatan
yang menyampaikan kita kepada terlaksananya yang wajib dan mengakibatkan kepada
yang terjadinya yang haram, Allah telah melarang menghna berhala, meskipun
berhala sesuatu yang bathil. Karena mennghuna berhala mengakibatkan dihinana
Allah oleh orang-orang penyembah berhala. Sebagaimana firman Allah dalam surat
al-An’am ayat 108.
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Artinnya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang
mereka sembah, selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melewati batas tanpa pengetahuan”.[3]
B. Definisi Sadd
Dzari’ah
Sadd Dzari’ah
adalah
التو
صل بما هو مصلحة إلى مفسدة
Artinya :
“Suatu
pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan, tetapi kemudian dapat
menyampaikan kepada suatu kemafsadatan.”
Sedangkan
Muhammad al-Syaukani mendefinisikan Sadd Dzari’ah adalah :
المسألة
التي ظاهر ها إلا با حة ويتوصل بها إلى فعل المحظور
Artinya :
“Masalah
(sesuatu ) yang dilihat secara lahir adalah mubah ( boleh ), tetapi membawa
kepada perbuatan yang terlarang.”
Dengan
demikian, secara singkat dapat dikatakan Sadd Dzari’ah adalah perbuatan yang
dilakukan seeorang yang sebelumnya mengandung kemaslhatan, tetapi berakhir
dengan suatu kerusakan. Misalnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat,
namun sebelum haul ( genap tahun ) ia menghibahkan harta tersebut kepada
anaknya, sehingga dia terhindar dari kewajiaban zakat.
C. Kedudukan dan
Dasar Hukum Sadd Dzari’ah
Kedudukan Sadd
Dzari’ah pada pandangan ulama, mendapatka perhatian yang cukup serius terhadap
Dzari’ah ini. Seluruh ulama mengakaji Sadd Dzari’ah ini pada kajian dalil-dalil
yang tidak disepakati.
Dasar hokum
adanya Sadd Dzari’ah adalah seperti yang dijelaskan dalam Alquran dan Assunnah
dalam Alquran dicontohkan surat Al-baqarah yang berbunyi :
يا
أيها الذين أمنوا لا تقولوا راعنا وقولوا أنظرنا واسمعوا
Artinya :
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu berkata : “ra ina”, tetapi katakanlah:
“ undhurna” dan dengarlah.”
Larangan
menyebut ra’ina, karena orang yahudi menggunakan kata-kata ra’ina unutk mencela
atau menghina Nabi Muhammad. Oleh karena itu, umat islamdilarang untuk
mengatakan ra’ina sebagai suatu dzari’ah. Dari sini, tampak bahwa saddu al-dzari’ah
ada dasardalil nya dari alquran, sedangkan dari Assunnah diantaranya :
1.
Nabi Muhammad melarang membunuh
orang munafiq, karena membunuh orang munafiq dapat meneybabkan nabi Muhammad
dituduh membunuh shahabat-shahabat-Nya.
2.
Nabi melarang kepada kreditur untuk mengambil atau menerima hadiah
dari debitur, karena cara demikian dapat berakibat jatuh kepada riba.
3.
Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan
ditangguhkan sampai selesainya perang, kakrena memotong tangan pencuri pada
waktu perang membawa akibat tentara-tentara lari menggabungkan diri dengan
musuh.
4.
Nabi melarang Bani Hasyim untuk mendapatkan zakat kecuali menjadi
amil, hal ini dilakukan agar tidak terjadi fitnah.
5.
Nabi melarang penimbunan,
karena penmbunan itu menimbulkan pada dzari’ah kepada kesempitan atau kesulitan
manusia.[4]
D.Macam – Macam
Dzari’ah
Para ulama
membagi Dzari’ah berdasarkan dua segi yaitu segi
kualitas kemafsadatan atau tigkat kerusakan, dan segi jenis kemafsadatan atau
dampak yang ditimbulkannya.
1. Dzariah ditinjau
dari segi kualitas kemafsadatan atau tingkat kerusakannya terbagi atas empat
macam berikutnya :
a. Perbuatan yang dilakukan (dzari’ah )
tersebut membawa kepada kemafsadatan yang pasti. Misalnya, menggali sumur di
dipan rumah orang lain pada waktu malamm, yang meneyebabkan pemilik rumah jatuh
ke dalam sumur tersebut. Karenanya, ia dapat dikenai hukuman karena melakukan
perbuatan tersebut dengan sengaja.
b. Dzari’ah yang boleh diakukan ( mubah) namun dijadikan jalan perbuatan yang merusak. Misalnya, seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga kali dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali
dengan suaminya yang pertama (nikah tahlil).
c. Dzari’ah
yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun
biasanya sampai juga pada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari
kebaikannya.Misalnya, berhiasnya seorang perempuan yang baru suaminya meninggal
dalam masa iddah.
d. Dzariah yang semula ditentukan mubah, namun
terkadang membawa kemafsadatan, sedang kerusakannya itu lebih kecil. Misalnya,
melihat wajah perempuan saat dipinang.
2. Dzari’ah ditinjau dari segi kemafsadatannya yang ditimbulkan atau dampak
yang ditimbulkannya terbagi menjdadi empat macam yaitu :
a. Dzari’ah yang membawa kepada suatu kerusakan yang pasti. Artinya, bila perbuatan dzari’ah itu tidak
dihindarkan pasti akan terjadi kersakan.
b. Dzari’ah
yang mambawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu
dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya
perbuatan yang dilarang..
c. Dzari’ah
yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakannya. Hal ini berarti
bila dzari’ah itu tidak di hindarkan sering kali sesudah itu akan mengakibatkan
berlangsungnya perbuatan yang terlarang.
d. Dzari’ah
yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang. Dalam hal
ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan.[5]
5. Kehujjahan Sadd Dzariah
Dalam buku yang ditulis oleh Ade Dedi Rohayana dijelaskan bahwa jumhur
ulama menerima saddu dzari’ah sebagai salah satu dalil syara’ akan tetapi kadar
penerimaanya berbeda Pendapat, seperti Imam malikiyah dan Hanabilah dapat menerima
khujjahannya sebagai salah satu dalil syara’ dengan dasar surat Al-An’am ayat
108 dan Hadis rasull yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud
yang artinya :
“ Sesungguhnya
sebesar-besarnya dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tunya. Lalu
Rasulullah ditanya, “ Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan
melaknat ibu dan bapaknya? Rasululah menjawab : “ Seseorang yang mencaci
makiayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan
seseorang mencaci maki ibu orang lain,maka orang lainpun akan mencaci-maki
Ibunya.”
Ulama
hanafiyah, syafi’iyah dapat menerima sad al-dzari’ah dalam masalah-masalah
lain. Dan menurut Husain hamid, salah seorang uru besar ushul fiqih fakultas
Hukum universitas kairo, ulama hanafiyah dan syafi’iyah menerima shadd
al-dzari’ apabila kemafsadatannya benar-benar terjadi atau sekurang-kurangnya
kumngkinan besar akan terjadi. Sedangkan Imam Al-Syafi’I menerimanya dalam keadaan udzur, misalnya
seorang musafir atau yng sakit diperbolehkan meninggalkan shalat jum’aat, dan
boleh menggantinya dengan salat dzhuhur.namun, shalat dhuhur harus dilaksanakan
dalam keadaan diam-diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat jum’at.
Dalam memandang
dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan ple para ulama ushul fiqih :
1. Motivasi
seseorang dalam melakukan sesuatu. Seperti : laki-laki menikahi perempuan yang
ditalak tiga dengan tujuan wanita itu kembali kepada suaminya yang pertama(
nikah at-tahlil )
2. Dari segi
dampaknya ( akibatnya ). Misalnya, mencaci maki sesembahan rang musyrik yang
berakibat merekapun mencaci Allah.
Demikianlah, bahwa dzari’ah telah di
pakai oleh kebanyakan ulama sebagai salah satu metode dalam menggali hukum
syara’. Meskipun demikian, pemakaian
Dzari’ah tidak dilakukan secara berlebihan. [6]
6.Fath Adz-Dzariah
Satu dari sekian tujuan Islam adalah
menghindari kerusakan (mafsadah) dan mewujudkan kemaslahatan, maka jika suatu
perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik,
maka diperintahkanlah suatu perbuatan yang menjadi sarana tersebut (fath
al-dzari’ah), dan jika sebaliknya suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga
keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah) maka dilaranglah hal-hal yang
mengarah kepada perbuatan tersebut (saddu al-dzari’ah).
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah dan imam Al-Qarafi , mengatakan, bahwa Dzariyah itu
adakalanya dilarang yang disebutkan Sadd adz-Dzariah dan adakalanya dianjurkan
bahkan diwajibkan yang disebut Fath adz-Dzariah.
7.Contoh-contoh Fathu al-Dzari’ah
Dzara’i adalah persoalan yang harus diketahui umat Islam,
hal ini diungkapkan oleh al-Qorofiy contoh-contoh fathu dzara’iah, yaitu :
- Memberikan
harta rampasan perang/fasilitas kepada musuh (dalam perang), sebagai
tebusan untuk membebaskan tawanan/sandera.
- Menyuap
seseorang atau pihak tertentu untuk keputusan hukum yg sebenarnya, pada
saat ia didzalimi (dianiaya atau direkayasa dalam pengadilan). Artinya,
status hukum yg seharusnya ia terima tidak bisa didapatkan kecuali dengan
mengeluarkan uang/harta.
- Membayar
sejumlah harta kepada Negara atas perlindungan dari bahaya, agar kekuatan
umat Islam tetap terjaga di Negara tersebut
- Memberikan
potongan harga/menurunkan harga bagi calon jamaah haji yang ingin ke
baitullah
- Jika
mengerjakan shalat jum’at wajib, maka meninggalkan jual beli ketika akan
melaksanakan shalat jum’at pun menjadi wajib
- Menuntut
ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka segala sesuatu yang
menghubungkan dengan menuntut ilmu adalah wajib
Maka atas beberapa hal diatas, oleh beberapa ulama
membolehkan pelaksannannya dengan alasan fath dzara’i (membuka jalan)
untuk sesuatu yang lebih maslahat bagi masyarakat/umat Islam.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan
mengenai madzhab shahabi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan dengan
madzhab shahabi adalah perkataan shahabat Rasulullah saw, mengenai suatu
masalah yang hukumnya tidak didapatkan dalam Al-Qur'an maupun As-sunnah. Dan
mengenai kehujahannya terdapat sebagian ulama' yang menerima madzhab shahabi
dijadikan hujjah secara mutlak, dan ada juga sebagian ulama' yang menolak atas
kehujjan madzhab shahabi. Dan mungkin perbedaan tersebut sangatlah wajar karena dilihat dari
persepektif sudut pandang yang berbeda-beda dan tentunya dengan alasan yang
berbeda-beda pula.
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan
adzariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan
demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan
dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada
tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan
seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu
kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Mahfud.2007.Islamic Law Studies Yogyakarta: Gama Media.
Djazul. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana.
Effendi,
Satria .2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin,
Amir.2001.Ushul Fiqh jilid 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
http://anumb66.blogspot.com/2013/01/makalah-ushul-fiqih-madzhab-sahabi-dan.html. diakses tanggal 12 November 2013.
[3]Djazuli,Op.Cit., hlm.98-99.
[6] Maghfud Ahmad dkk, Islamic Law Studies (Yogyakarta: Gama
Media,2007), hlm.45.
[7] http://anumb66.blogspot.com/2013/01/makalah-ushul-fiqih-madzhab-sahabi-dan.html. diakses tanggal 12 November 2013.
Post a Comment