Untuk Anda yang ingin mendownload filenya lengkap, silahkan klik link dibawah ini!
Download Makalah Lain :
Analisis Terhadap Psikologi Agama
Pengaruh Psikologi Agama Terhadap Perilaku Peserta Didik
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Power Point
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang sosial ekonomi
profesi seorang guru kebanyakan kalangan menengah ke bawah. Sulit kita menemui
atau masih sedikit daya yang menyebutkan kalangan sosial ekonomi menengah ke
atas bersedia memilih bekerja sebagai guru. Profesi guru jelas bukan profesi
yang berkelas dengan gaji yang besar, bukan profesi yang enak dan mengasyikkan.
Status ini penuh beban moral dan sosial dengan apa yang diucapkannya, baik itu
dalam relasi sosialnya di sekolah maupun di luar sekolah.
Dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat tidak pernah terlepas dari seorang guru. Peranan guru sangat besar
dalam pendidikan. Guru adalah orang yang memberikan pengetahuan kepada anak
didik. Sementara anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari
perorangan atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Keduanya
merupakan unsur paling vital di dalam proses belajar-mengajar.
Peranan guru sangat mempengaruhi
proses belajar mengajar. Peranan guru harus bisa mempengaruhi murid dan membuat
murid menjadi lebih baik. Dalam segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Guru harus mampu mempengaruhi kelakuan murid dan harus bisa menjadi teladan
bagi murid.
Guru memiliki cara berbeda dalam
menjalankan peranannya sebagai guru. Hal ini juga mempengaruhi kelakuan murid
terhadap guru itu sendiri. Oleh karena itu tak jarang murid memperlakukan guru
yang satu berbeda dengan guru yang lainnya.
Hal ini yang perlu dibahas secara mendalam. Oleh
karena itu penulis membuat makalah yang berjudul “Peranan Guru dan Kelakuan
Murid”.
II
PEMBAHASAN
PERANAN GURU DAN KELAKUAN MURID
A.
Guru
1. Pengertian
guru
Terdapat banyak pengertian tentang guru. Dari segi
bahasa, kata guru berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang
pekerjaannya mengajar.[1] Menurut
ahli bahasa Belanda J.E.C. Gericke dan T. Roorda yang dikutip oleh Ir.
Pudjawiyatna, menerangkan bahwa guru berasal dari bahasa sanskerta, yang
artinya berat, besar, penting, baik sekali, terhormat dan juga berarti
pengajar.[2]
Sedangkan dalam bahasa Inggris di jumpai beberapa kata yang berdekatan artinya
dengan guru, kata teacher berarti guru, pengajar.[3] Kata
educator berarti pendidik, ahli mendidik.[4]
Dan tutor yang berarti guru pribadi, atau guru yang mengajar dirumah,
memberi les (pelajaran).[5]
Dalam
pandangan masyarakat jawa, guru dapat di lacak melalui akronim gu dan ru.
Gu diartikan dapat digugu (dianut) dan ru berarti bisa ditiru (di
jadikan teladan ).[6]
Guru adalah
seorang administrator, informator, konduktor, dan sebagainya, dan harus
berkelakuan menurut harapan masyarakat,. Dari guru, sebagai pendidik dan
pembangun generasi baru diharapkan tingkah laku an bermoral tinggi demi masa
depan bangsa dan negara.
Kepribadian guru dapat mempengaruhi suasana kelas/sekolah baik
kebebasan guru yang dinikmati anak dalam mengeluarkan buah pikiran, dan
mengembangkan kreatifitasnya ataupun pengekangan dan keterbatasan yang dialami
dalam pengembangan pribadinya.[7]
Selanjutnya dalam konteks Pendidikan Islam banyak
sekali kata yang mengacu pada pengertian guru, seperti kata yang lazim dan
sering digunakan antara lain murabbi, muallim, dan muaddib.
Imam Al-Ghazali dalam menunjuk pendidik sering menggunakan kata al-Mu'allimin
(Guru), al-Mudarris (pengajar), al-Mu'addib (pendidik) dan al-Walid
(orang tua).[8]
Akan tetapi Hujjatul Islam tidak menjelaskan secara spesifik pengertian atau
definisi pendidik atau guru. Hanya kata-kata tersebut di atas sering digunakan
dalam kitab-kitabnya. Ketiga kata tersebut memiliki penggunaan sesuai dengan
peristilahan pendidikan dalam konteks pendidikan Islam. Disamping itu guru,
kadang disebut melalui gelarnya, seperti al-ustadz dan as-syaikh.[9]
Dalam hal ini dibahas secara luas oleh Abuddin Nata, yakni kata al alim (jamaknya
ulama) atau muallim, yang berarti orang yang mengetahui dan kata
ini banyak dipakai oleh ulama atau ahli pendidikan untuk menunjuk pada arti
guru. Al-mudarris yang berarti orang yang mengajar (orang yang memberi
pelajaran) Namun secara umum kata almu’allim lebih banyak digunakan dari
pada al-mudarris. Dan kata almuaddib yang merujuk pada
guru yang secara khusus mengajar di istana. Sedangkan kata ustadz untuk
menunjuk kepada arti guru yang khusus mengajar di bidang pengetahuan agama
Islam. Selain itu terdapat pula istilah syaikh yang digunakan untuk
merujuk pada guru dalam bidang tashawuf.[10]
Adapun pengertian guru secara terminologi memiliki
banyak arti , dalam pandangan tradisional, guru
dilihat sebagai seseorang yang berdiri di
depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Menurut
pandangan para pakar pendidikan Islam sangat bervariasi dalam memberikan
pengertian istilah guru. Menurut Ahmad Tafsir, bahwa pendidik dalam Islam sama
dengan teori di barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak didik, baik potensi kognitif, afektif, maupun potensi psikomotorik.[11]
2.
Pengaruh
Guru
Perjalanan menjadi guru sering dimulai pada saat awal kehidupan.
Sebagian orang terlahir sebagai guru, pengalaman hidup awal sering mendorong
mereka menjadi seorang guru. Selain orang tua wali, orang dewasa yang memiliki
pengaruh paling besar pada anak adalah guru mereka. Mungkin hubungan positif
dengan guru adalah katalis bagi keputusan Anda menjadi seorang guru. Seperti 22
persen dari responden polling online Hari Guru NEA 2002 ( National Education
Association, 2002 ) yang menunjukan alasan utama mereka mempertimbangkan
menjadi guru, pengaruh dari seorang guru sekolah dasar atau menengah mungkin
menjadi alasan utama Anda memutuskan menjadi guru.
Seperti sebagian besar orang menjadi guru, Anda mungkin lebih
terpengaruh oleh guru Anda sebagai seorang manusia dibanding sebagai seorang
ahli dalam mata pelajaran tertentu. Mungkin Anda memiliki guru yang sama dengan
Salina Gray, yang membuat pengamatan self-reflective berikut selama tahun
pertama dia mengajar : “ Saya telah mengevaluasi keyakinan saya sebagai guru,
menanyakan apa pendidikan itu seharusnya, apa maknannya, apa sebenarnya yang
saya tunjukkan pada siswa saya. Apakah perilaku saya mempertontonkan nilai saya
kepada siswa saya? Jadi, saya telah memperhatikannya”.[12]
Guru menurut paradigma baru ini bukan hanya
bertindak sebagai pengajar, tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator
proses belajar mengajar yaitu realisasi atau aktualisasi potensi-potensi
manusia agar dapat mengimbangi kelemahan pokok yang dimilikinya.[13]
Sehingga
hal ini berarti bahwa pekerjaan guru tidak dapat dikatakan sebagai suatu
pekerjaan yang mudah dilakukan oleh sembarang orang, melainkan orang yang
benar-benar memiliki wewenang secara akademisi, kompeten secara operasional dan
profesional.[14]
3. Kompetensi
dan Efektivitas Guru
Masyarakat percaya guru yang berkompeten dan afektif
adalah kunci penting untuk sistem pendidikan. Sebagai guru, Anda diharapkan
mahir dalam menggunakan strategi instruksi, materi kurikulum, teknologi
pendidikan yang canggih dan teknik managemen ruang kelas. Anda juga diharapkan
memiliki pengertian yang menyeluruh tentang tingkat kemajuan siswa dan sangat
mengerti konten yang Anda ajarkan. Untuk mempertahankan dan mengembangkan
keahlian Anda yang tinggi, Anda diharapkan untuk memahami berbagai kegiatan
yang sangat bagus dan untuk menunjukkan keinginan menuju pengembangan
profesional.
Kompetensi dan efektifitas guru antara lain
bertanggung jawab untuk membantu agar semua siswa berhasil. Walaupun siswa
sekarang berasal dari latar belakang yang beragam, masyarakat berharap Anda
percaya adanya potensi dari semua anak. Terlepas dari etnik, bahasa,
gender dan setatus sosio ekonomi, latar belakang keluarga, dan kondisi hidup,
kemampuan dan ketidakmampuan siswa Anda, Anda akan memiliki tanggung jawab untuk
meyakinkan bahwa semua siswa berkembang menuju potensi maksimal. Untuk
meraihnya, Anda diharapkan memiliki sekumpulan strategi instruksi dan sumber
daya untuk menciptakan pengalaman belajar yang berarti yang mendorong
pertumbuhan dan pengembangan siswa.[15]
4. Peran
guru
Guru sebagai seorang
pendidik bukan saja berfungsi sebagai sumber ilmu tetapi memiliki peran lain
yang sangat penting yakni dalam pembentukkan karakter anak didik.[16]
Guru Sebagai Teladan bagi siswa.
Jelas guru
merupakan teladan bagi siswa mereka. Di tingkat SD, guru diidolakan oleh siswa
muda mereka. Di tingkat SMA guru memiliki potensi untuk menginspirasi kekaguman
siswa jika mereka meneladani sikap dan perilaku positif. Sebenarnya, guru
mengajarkan “ tidak hanya apa yang [ mereka ] katakan tetapi juga tetapi juga
apa yang [ mereka ] lakukan “. Guru adalah “agen aktif yang ucapan dan
tindakannya mengubah kehidupan dan membentuk masa depan, agar lebih baik atau
lebih buruk. Guru mampu dan memang dapat menerapkan banyak kekuatan dan
pengaruh terhadap kehidupan siswa”.
Dalam Listening to Urban Kids: School Reform and the
Teachers They Want (Wilson & Corbett, 2001), siswa menyampaikan harapan
berikut tentang sikap atau perilaku guru mereka: Saya mendengar guru,
“Anak-anak itu tidak bisa apa-apa.” Anak-anak ingin guru percaya pada mereka.
Guru
yang baik bagi saya adalah guru yang sabar, mau menerima kenyataan bahwa dia
mungkin harus menangani siswa yang memiliki masalah.
Karena
ini tahun pertamanya mengajar, saya menghargainya. Dia berinteraksi, tetapi dia
juga mengajar..... Dia menasehati kami. Dia tidak hanya mencoba mengajar tetapi
mencoba terlibat bersama kami.
Guru memberikan teladan dengan sikap
terhadap mata pelajaran yang mereka sampaikan dan menunjukan ke siswa melalui
contoh bahwa belajar merupakan proses yang terus-menerus, yang memperkaya
kehidupan yang tidak berakhir dengan ijazah dan wisuda. Contoh mereka
menegaskan pesan abadi dari Sir Rabindranath Tagore yang dipahatkan di atas
pintu sebuah gedung publik di India : “ Seorang guru tidak benar-benar mengajar
kecuali dia sendiri belajar. Sebuah lampu tidak dapat menghidup kan lampu lain
kecuali ia terus menghidupkan apinya.
Guru
sebagai Pemecah Masalah Spontan
Di kelas guru harus merespon
peristiwa-peristiwa tak terduga yang cepat berubah, multidimensi, dan
terpecah-pecah. Ketika guru bersiap untuk mengajar atau memikirkan pengajaran
sebelumnya, mereka bisa secara konsisten bersikap hati-hati dan rasional.
Merencanakan pelajaran, memberi nilai, memikirkan perilaku buruk seorang siswa aktivitas
seperti itu biasanya dilakukan sendiri serta kurang keterlibatandan perhatian
seketika yang seharusnya mencirikan pengajaran interaktif.[17]
Menurut Mohamad Uzer Usman ada peranan paling dominan
dari seorang guru dan diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Guru sebagai demonstrator.
Melalui perannya sebagai demonstrator, lecturer, atau
pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang
akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan
kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat
menentukan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.
2.
Guru sebagai pengelola kelas
Dalam peranannya sebagai pengelola kelas (lerning
manager), guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta
merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Lingkungan ini
diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan
pendidikan.
3.
Guru sebagai mediator dan fasilitator
Sebagai mediator guru hendaknya memilki pengetahuan
dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan. Karena media pendidikan
merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar.
Dengan demikian media pendidikan merupakan dasar yang sangat diperlukan yang
bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses
pendidikan dan pengajaran disekolah.
Sebagai mediator guru pun menjadi perantara dalam
hubungan antar manusia. Untuk keperluan itu guru harus terampil mempergunakan
pengetahuan tentang bagaimana orang berinteraksi dan berkomunikasi. Sebagai
fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta
dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa
nara sumber, buku teks, majalah ataupun surat kabar.
4.
Guru sebagai evaluator
Dalam satu kali proses belajar-mengajar guru
hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan
apakah materi yang diajarkan sudah cukup tepat. Semua pertanyaan tersebut akan
dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian.[18]
Seorang guru harus mengetahui
bagaimana dia bersikap yang baik terhadap
profesinya, dan bagaimana seharusnya sikap profesi itu dikembangkan sehingga
mutu pelayanan setiap anggota kepada masyarakat makin lama makin meningkat.
Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat
apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau
teladan masyarakat sekelilingnya.[19]
B. Murid
Menurut Engr Sayyid Khaim Husyain Naqawi yang
dikutip oleh Abuddin Nata, menyebutkan bahwa kata murid berasal dari bahasa
arab, yaitu muriidun artinya
orang yang menginginkan (the willer).[20]
Mengacu pada beberapa istilah
mengenai murid di atas, murid diartikan sebagai orang yang berada dalam taraf
pendidikan, yang dalam berbagai literatur disebut sebagai anak didik. Dalam
undang-undang pendidikan no. 20 th. 2003 di sebut peserta didik.[21]
Masalah
yang berhubungan dengan anak didik merupakan objek yang penting dalam pedagogik.
Begitu pentingnya faktor anak dalam pendidikan, sampai-sampai ada aliran
pendidikan yang menempatkan anak sebagai pusat segala usaha pendidikan (aliran child
centered). Untuk itulah diperlukan sebuah usaha untuk memahami siapa
peserta didik (murid) itu. Anak didik memiliki sifat-sifat umum antara lain:
a.
Anak bukanlah
miniatur orang dewasa, sebagaimana statemen JJ. Rousseau, bahwa anak bukan
miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak dengan dunianya sendiri. Peserta
didik memiliki fase perkembangan tertentu, seperti pembagian ki hajar dewantara
(wiraga, wicipta, wirama)
b.
Murid memiliki
pola perkembangan sendiri-sendiri
c.
Peserta didik
memiliki kebutuhan, diantaranya sebagaimana dikemukakan para ahli pendidikan
seperti, L.J. Cionbach, yakni afeksi, di terima orang tua, diterima kawan,
independen, punya harga diri. Sedangkan Maslow memaparkan adanya
d.
kebutuhan
biologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri, dan realisasi.
e.
Perbedaan
individual, yang meliputi segi jasmani, intelegensia, sosial, bakat dan lain sebagainya.
Disamping itu perlu diperhatikan masalah kualitas seorang pembelajar tidak
diukur dengan membandingkannya dengan pembelajar-pembelajar lainnnya, karena
secara aktual dihadapkan dengan dirinya yang potensial, sesederhana dan sesulit
itu.[22]
C. Hubungan Guru Dan Murid
Harus diketahui bahwa mengajar dan belajar mempunyai
fungsi yang berbeda, proses yang tidak sama dan terpisah. Perbedaan antara
mengajar dan belajar bukan hanya disebabkan karena mengajar dilakukan oleh
seorang guru sedangkan proses belajar berlangsung di dalamnya. Bila proses
belajar mengajar secara efektif, itu berarti telah terbina suatu hubungan yang
unik antara guru dan murid, proses itu sendiri adalah mata rantai yang
menghubungkan antara guru dan murid.[23]
Tiap guru mempunyai hubungan yang berbeda menurut
pribadi dan situasi yang dihadapi. Untuk mempelajarinya kita dapat berpegang
pada tipe-tipe guru, misalnya guru yang otoriter yang menjaga jarak dengan
murid dan guru yang ramah, yang dekat serta akrab dengan murid. Guru yang otoriter
tak mengizinkan anak melewati batas atau jarak sosial tertentu.[24]
Peranan pendidik dalam kaitannya
dengan anak didik, tampak bermacam berdasarkan situasi interaksi
sosial-edukatif dihadapinya. Interaksi sosial edukatif dimaksudkan seperti
situasi formal dalam proses pembelajaran dikelas maupun dalam situasi formal di
luar kelas. Dalam situasi formal, yakni dalam usaha guru mendidik dan mengajar
anak didik dalam kelas, pendidik diharapkan dapat memperlihatkan kewibawaan dan
otoritasya, di mana pendidik harus dapat mengendalikan, mengatur, dan
mengontrol perilaku anak didik.
Adanya
suatu kemajuan proses interaksi edukatif antara pendidik dan anak didik, lebih
ditentukan kompetensi pendidik dalam proses pembelajaran. Interaksi edukatif
antara pendidik dan anak didik ditunjukan pula adanya interaksi timbal balik ( mutual
symbiosis ) antara keduanya.[25]
Ada pula klasifikasi yang lain tentang peranan guru
yakni dengan membedakan tipe guru yang dominatif dan integratif. Tipe guru yang
dominati mendominasi atau menguasai murid, menentukan dan mengatur kelakuan
murid dan menginginkan konformitas dalam kelakuan murid atau menginginkan
konformitas dalam kelakuan mereka Guru ini sering mencampuri apa yang dilakukan
murid dan hal ini dapat menimbukan konflik antara dia dengan murid. Sebaliknya
guru yang integratif membolehkan anak untuk menentukan sendiri apakah ia suka
melakukan apa yang disarankan oleh guru. Murid-murid diajak berunding
merencanakan bersama apa yang dikerjakan atau dipelajari untuk mencapai tujuan
yang ditentukan bersama.[26]
Beberapa norma dasar yang harus diterapkan oleh para
pendidik dalam berhubungan dengan anak didik.
a.
Memiliki rasa
belas kasihan kepada anak didik dan memperlakukannya seperti anak sendiri.
b.
Mengajar dengan
ikhlas, tidak semata-mata untuk mendapatkan upah, balasan, dan ucapan terima
kasih dari anak didik.
c.
Memberikan
pemahaman secara mendalam bahwa menuntut ilmu merupakan suatu perbuatan terpuji
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt dan bukan untuk orang lain.
d.
Mengajar dengan
kasih sayang, tidak dengan kekerasan, ejekan dan sindiran.
e.
Tidak boleh
melecehkan mata pelajaran lain atau pendidik lain depan murid-murid. Guru/pendidik
harus menyederhanakan materi pelajaran sesuai dengan tingkat pemahaman/daya
serap/kemampuan anak didik.[27]
Di sekolah-sekolah
profesional kaya dan elit eksekutif, hubungan guru siswa lebih positif daripada
di sekolah-sekolah kelas pekerja dan kelas menengah. Guru sopan kepada siswa,
jarang memberikan perintah langsung, dan hampir tidak pernah membuat komentar
kasar atau menyakitkan. Siswa percaya bahwa guru yang efektif mengembangkan
budaya kelas yang positif dan
berorientasi tugas, sedangkan guru yang tidak efektif mengembangkan budaya
negatif.[28]
Hubungan guru-murid
dikatakan baik apabila hubungan itu memiliki sifat-sifat:
a. Keterbukaan,
sehingga baik guru maupun murid saling bersikap jujur dan membuka diri satu
sama lain.
b. Tanggapan
bilamana seseorang tahu bahwa dia dinilai oleh orang lain.
c. Saling
ketergantungan, antara satu sama lain.
d. Kebebasan,
yang memperbolehkan setiap orang tumbuh dan mengembangkan keunikannya,
kreatifitasnya dan kepribadiannya.
e. Saling
memenuhi kebutuhan, sehingga tidak ada kebutuhan satu orang pun yang tidak
terpenuhi[29]
D.
Sikap terhadap anak didik
Dalam kode etik guru indonesia dengan jelas dituliskan bahwa : Guru
membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa
pancasila. Dasar ini mengandung beberapa prinsip yang harus dipahami oleh
seseorang guru dalam menjalankan tugas sehari-harinya, yakni : tujuan pedidikan
nasional, prinsip membimbing, dan prinsip pembentukan manusia Indonesia
seutuhnya. Guru dalam mendidik
seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual
saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan seluruh pribadi peserta
didik , baik jasmani, rohani, sosial maupn yang lainnya yang sesuai dengan
hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat
menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupannya
sebagai insan dewasa. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata
yang harus patuh kepada kehendak dan kemauan guru .[30]
Guru merupakan personel sekolah yang memiliki kesempatan untuk
bertatap muka lebih banyak dengan siswa dibandingkan dengan personel sekolah
lainnya. Oleh sebab itu, peran tanggung jawab guru dalam pelaksanaan bimbingan
dan konseling di sekolah juga sangat diharapkan.[31]
Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang
diusahakan untuk menambah pengetahuan dan melangsungkan pendidikan.[32]
Untuk mencapai keberhasilan pendidikan diperlukan kerjasama antara pendidik dan
peserta didik. Walau bagaimanapun pendidikan berusaha menanamkan pengaruhnya
kepada peserta didik, apabila tidak ada kesediaan dari peserta didik sendiri
untuk mencapai tujuan, maka pendidikan sulit dibayangkan dapat berhasil.
Sehingga hal ini mendapat perhatian besar dari para pemikir pendidikan Islam.[33]
Para guru/fasilitator pelatihan memang banyak yang
tertarik pada usaha bagaiman meningkatkan kemampuan keterampilan dan memberi
bimbingan dan kemampuan mempermudah pertumbuhan emosional anak-anak. Namun
mereka jarang yang benar-benar berhasil memahami perasaan dan pertumbuhan
kepribadian peserta didik. Untuk itulah para guru/fasilitator pelatihan
memenuhi minatnya tersebut.[34]
Para guru mencoba mendengarkan aktif, berpendapat
bahwa keterampilan ini dapat menghemat waktu yang berfaedah bagi proses
mengajar dan belajar. Inilah keuntungan-keuntungannya:
a. Mendengarkan
aktif membantu murid membicarakan masalahnya dengan menyatakan perasaannya,
keluhan, dan kesulitan. Murid secara bebas menyampaikan luapan perasaannya,
sebab mendengarkan secara aktif merupakan alat untuk penyaluran perasaan.
b. Mendengarkan
aktif memberikan kemudahan pemecahan masalah bagi murid. Sebab mendengarkan
aktif begitu efektif membantu murid untuk berbicara, maka mendengarkan aktif
berarti meningkatkan kemampuan murid-murid untuk berbicara kepada orang lain.
c. Mendengarkan
aktif melatih murid bertanggung jawab dengan belajar menganalisis dan
memecahkan masalh sendiri. Guru yang mencoba mendengarkan aktif sering
menyimpulkan bahwa murid dapat menyelesaikan problem yang dihadapi sendiri
secara mengagumkan.
d. Mendengarkan
aktif mempererat hubungan antara guru dan murid Murid yang telah didengarkan
oleh guru dalam segala luapan perasaannya menjadi puas, harga dirinya
terbentuk, sehingga murid menyambut hangat nasihat guru. Hubungan guru dan
murid mrnjadi saling menghargai, saling kerja sama, dan saling menyayangi.[35]
E. Reaksi Murid terhadap Peranan guru
Proses
pendidikan banyak terjadi dalam interaksi sosial antara guru dan murid. Sifat
interaksi ini Banyak bergantung pada tindakan guru yang ditentukan antara lain
oleh tipe peranan guru. Bagaimana reaksi murid terhadap pranan guru dapat
diketahui dari ucapan murid tentang guru itu. Tentang hal ini telah dilakukan
sejumlah penelitian.
Dalam peneitian ini diperoleh hasil
yang sama dengan metode yang agak berbeda. Murid-murid meminta menilai
guru-guru mengenai kesanggupannya mengajar dan kelakuan guru yang ramah, yang
paling sering turut serta dalam kegiatan reaksi mereka, yang dapat dipercayakan
soal-soal pribadi, dan yang suka membantu dalam pelajaran. Dan kurang disukai
ialah guru-guru yang sering mencela, marah, menggunakan sindiran atau kata-kata
yang tajam. Sindiran, kata-kaa yang tajam dapat merendahkan konsep anak tentang
dirinya.[36]
Dengan adanya wibawa, diharapkan
terjadinya suatu bimbingan aktif, dan orang yang mempunyai wibawa, dalam hal
ini adalah pendidik atau orang dewasa. Karena, perlu diingat bahwa walaupun
pada diri anak didik tersebut terdapat potensi untuk berkembang sendiri, tetapi
pada diri anak juga terdapat keinginan memperoleh perlindungan, baik secara
jasmani maupun rohani, bersifat (kodrat) anak yang membutuhkan pertolongan.[37]
Kebutuhan anak didik atas pendidikan
disebut homo educadum. Potensi anak didik yang bersifat laten tersebut
perlu diaktualisasikan yang memungkinkan terdidik, tetapi harus dianggap sebagi
manusia secara mutlak, karena anak didik memang manusia. Sebagai manusia anak
didik memilki potensi akal yang harus dikembangkan agar menjadi kekuatan
sebagai manusia yang berasusila dan berkecakapan sebagai modal kehidupan nyata.
Bertalian dengan psikologi anak didik ini, Davidman (1981) menekankan bahwa
cara belajar anak adalah cara anak didik mengatur lingkungan yang mereka
tertarik. Davidman menganjurkan bahwa para pendidik mengajar anak didik
berdasarkan cara mereka belajar bukan berdasarkan cara pendidik.[38]
Bila anak didik selalu ingin
berdekatan dengan guru, tidaklah sukar bagi guru untuk memberikan bimbingan dan
motivasi agar anak didik lebih giat belajar, baik di sekolah maupun di rumah.
Karena itu, guru memberikan motivasi dengan memanfaatkan kebuuhan anak didik
dia berminat untuk belajar. Sebaliknya guru bisa memanfaatkan minat anak
sebagai alat motivasi. Bila anak didik berminat terhadap suatu pelajaran dia
akan memperhatikannya dalam jangka waktu yang tertentu. Perhatian penting dalam
interaksi edukatif. Untuk mengamati sesuatu diperlukan perhatian. Anak didik
harus melihat di papan tulis, mendengarkan apa yang guru ucapkan, dan
sebagainya, dan bukan melihat keluar ia ingin belajar. Untuk itu anak harus
diberikan rangsangan yang dapat mempengaruhi kelakuannya agar terus memberikan
perhatian pelajaran.[39].
Untuk memupuk perhatian anak didik dianjurkan dengan
mempergunakan reinforcement berupa gula-gula dan ganjaran simbolis seperti
pujian, angka yang baik, acungan jempol, dan sebagainya. Guru yang biasanya
kurang berhasil dalam pengajaran karena kegagalannya memupuk perhatian anak
didik. Perhatian disini tentu saja menyangkut reaksi anak didik secara jiwa dan
raga. Diakui, sukar untuk mempertahankan perhatian anak didik dalam jangka
waktu yang cukup lama.[40]
Gaya-gaya guru dalam mengajar merupakan gabungan
dari kedua tingkah laku (verbal maupun non verbal) tersebut. Kedua tingkah laku
itu saling menguatkan bila diergunakan dengan tepat dan benar. Misalnya, ketika
guru mengatakan bahwa “ di atas ada langit” tangan guru hendaknya melakukan
gerakan ke atas, menunjuk dimana langit yang dimaksud itu berada, dan disertai
dengan gerakkan kepala menengok ke atas. Demikian pula ketika guru mengatakan “
di bawah ada bumi”, gerakan tangan dan gerakan kepala harus mendukung apa yang
dikatakan itu. Kekakuan dalam mengajar akan guru rasakan bila tingkah laku
verbal kurang didukung dengan tingkah laku non verbal.
Dalam menyampaikan bahan pelajaran kepada anak didik
sebaiknya guru harus bergerak juga tidak lama-lama duduk di kursi.
Sewaktu-waktu guru harus juga bergerak ke sisi kiri dan ke sisi kanan dari
tempat duduk anak didik, ke depan dan ke belakang, dan pada waktu itu yang
tepat berhenti sebentar. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat konsentrasi anak
didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan.
Stimulus yang tepat dalam mengajar akan mendapatkan
tanggapan balik dari anak didik. Banyak cara yang dapat dilakukan yang dapat
dilakukan guru untuk mendapatkan tanggapan balik dari anak didik. Misalnya,
menerapkan keterampilan bertanya dasar maupun bertanya lanjut, menggunakan
metode tanya jawab, memakai prinsip-prinsip mengajar, atau apa saja yang dapat
guru lakukan sebagai usaha mendapatkan tanggapan balik dari anak didik.[41]
F. Hubungan antara hasil belajar murid dengan kelakuan
guru
Sejumlah orang percaya bahwa tujuan utama
pembelajaran seharusnya mendorong pertumbuhan dan perkembangan personal siswa. Berikut
cara untuk memperbaiki dan meningkatkan keterlibatan atau keaktifan siswa dalam
belajar adalah sebagai berikut:
a. Abdikan
waktu yang lebih banyak untuk kegiatan-kegiatan belajar-mengajar.
b. Tingkatkan
partisipasi siswa secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar dengan menuntut
respon yang aktif dari siswa. Gunakan berbagai teknik mengajar, motivasi, serta
penguat.
c. Masa
transisi antara berbagai kegiatan dalam mengajar hendaknya dilakukan secara
luwes.
d. Berikanlah
pengajaran yang jelas dan tepat sesuai dengan tujuan mengajar yang akan
dicapai.
e. Usahakan
agar pengajar dapat lebih menarik minat murid. Untuk itu guru harus mengetahui
minat siswa dan mengaitkannya dengan bahan dan prosedur pengajaran.[42]
Dengan demikian tingkat ketergantungan kepada guru
(peran guru) akan berangsur-angsur berkurang dan bertambah tingginya strata
pendidikan. Namun demikian peran guru/dosen/pembimbing tetap sangat penting dan
menentukan pada setiap tingkatan proses pendidikan.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil balajar.
a. Situasi
hidup yang ada(kondisi keluarga)
b. Kondisi/keadaan
pribadi/kesehatan
c. Tempat
belajar
d. Waktu
belajar
e. Rencana
belajar
Dalam proses pengajaran
peserta didik dituntut untuk dapat memehami materi yang disampaikan oleh
pendidik. Dalam proses ini faktor guru, faktor murid, faktor materi pelajaran,
faktor fasilitas pembelajaran dan metode sistem pengajaran merupakan hal-hal
penting yang harus diperhatikan, dan semua faktor-faktor tersebut harus berada
pada kondisi yang optimal agar pembelajaran dapat mencapai sasaran.[43]
Integrasi kepribadian
ialah pribadi setiap individu yang terintegrasi pada setiap individu yang
terintegrasi pada setiap pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Individu peserta
didik ini benar-benar menyadari bahwa kehidupannya adalah sebuah “proses
menjadi”,” proses berubah”, dan” proses berkembang”. Di dalam proses itu
seseorang individu peserta didik terus berusaha secara sadar memilih berbagai
pengalaman yang kondusif atau mendukung perkembangan, perubahan dan pertumbuhan
dirinya tersebut.
Karena pilihannya dan
kesadarannya itulah si peserta didik dengan suk rela menerima resiko,
menghadapi konflik dan pertentangan dengan keinginannya. Si peserta didik ini
menyadarkari betul bahwa tanpa kerelaan menerima resiko dan konflik kepentingan
mka perkembangan, pertumbuhan, dan perubahan dirinya akan menjadi terhambat.
Kerelaan menerima resiko ini akan terlihat ketika si peserta didik memilih
belajar dan mengurangi jamnya bermain walaupun tidak ada tekanan dari
guru/fasilitator pelatihan atau orang tua mereka.[44]
Guru/fasilitator
pelatihan dan peserta didik setiap secara bersama-sama mengevaluasi kemajuan
peserta didik setiap minggu apakah sesuai tujuan. Dalam usaha memenuhi strategi
itu, seorang guru/fasilitator pelatihan harus mulai mendiagnosa tingkat
konseptual rata-rata peserta didik, memadukan model pembelajaran yang cocok
bagi kebutuhan peserta didik.[45]
Perlu diketahui bahwa
belum seluruh model pembelajaran telah dimasukkan ke dalam model pendidikan afektif.
Setiap model pembelajaran memungkinkan adanya materi pembelajaran tertentu. Karenanya
model-model tersebut bisa membantu guru/fasilitator pelatihan atau orang tua di
dalam menyeleksi dan mengembangkan skrip film, film, dan materi sumber lainnya.[46]
Peserta didik atau
anak-anak dapat menulis solusi atau pemecahannya dan dibandingkan pendapatnya
itu di dalam kelompok-kelompok kecil.[47]
Murid
cenderung terlalu santai dan tidak semuanya harus dari diri murid sendiri,
terkadang dalam beberapa segi murid perlu dipaksa dan di sikapi dengan tegas.
Karena sifat murid cenderung malas-malasan dan belum mengetahui pentingnya
belajar, mereka cenderung suka bermain dan bersenang-senang. Guru yang ramah,
tidak ingin memaksa. Guru tersebut lebih ingin murid belajar berdasarkan
keinginan sendiri, tapi guru yang otoriter cenderung memaksa sehingga mau tidak
mau murid akan belajar.
G. Peranan Guru dalam Masyarakat dan Respons murid
Guru hendaknya mengenal
masyarakat agar dapat berusaha menyesuaikan pelajaran dengan keadaaan masyarakat
sehingga relevan. Guru-guru kita diharapkan mengabdi kepada masyarakat dengan
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya dan dengan demikian turut memberi
sumbangan kepada pembangunan negara. Di mana saja guru berada, khususnya di
desa, cukup kesempatan baginya untuk berpartisipasi dan berbakti dalam
masyarakat.[48]
Keberadaan pendidikan
sebagai faktor perubahan sosial, peran guru/pendidik memiliki peran strategis
dalam mewujudkan anak didik agar siap dalam menghadapi perubahan sosial yang
diharapkan. Karena pendidikan, sebagai suatu proses sosial, dan terdapat banyak
jenis masyarakat, suatu kriteria untuk menkritisi dan membangun pendidikan
berimplikasi pada suatu masyarakat yang ideal.[49]
H. Peranan Guru Lainnya di Sekolah dan Respons Murid
Di sekolah, guru dapat
memegang berbagai peranan selain mengajar yakni sebagai kepala sekolah,
pembimbing OSIS, kordinator bidang studi, piket, dan lain-lain. Kepala sekolah
pada umumnya lebih dihormati dan disegani oleh murid-murid, mungkin karena
otoritasnya yang lebih besar, juga karena ia mempunyai wewenang, pengalaman dan
usia yang lebih banyak.[50] Seorang
pendidik/guru memiliki tanggung jawab dan bahkan menujukkan suatu otoritas
lebih besar disekolah. kini, sudah banyak upaya yang dilakukan untuk membantu
pendidik/guru untuk meningkatka kapasitas untuk membangun sekolah sebagai pusat
belajar ( learning centers) di mana anak didik dan orang dewasa tumbuh.
Dalam prestasi belajar
anak tidak ada pengaruh peranan tambahan yang dipegang oleh guru.[51]
Mengingat hasil belajar yang diharapkan dimiliki anak didik berupa kemampuan-kemampuan seperti tersirat dalam
tujuan pembelajaran, maka keberhasilan harus diukur dari ketercapaian tujuan
pembelajaran secara efektif dan efesien. Ada sejumlah indikator yang dapat
dijadikan tolak ukur keberhasilan belajar anak didik, yaitu:
a. Anak
didik menguasai bahan pengajaran yang telah dipelajarinya.
b. Anak
didik menguasai teknik dan cara mempelajari bahan pengajaran.
c. Waktu
yang diperlukaan untuk menguasai bahan pengajaran relatif ebih singkat.
d. Teknik
dan cara belajar yang telah dikuasai dapat digunakan untuk mempelajari bahan
pengajaran lain yang serupa.
e. Anak
didik dapat mempelajari bahan pengajaran lain secara sendiri.
f. Timbulnya
motivasi instrinsik ( dorongan dari dalam diri anak didik) untuk belajar lebih
lanjut.
g. Tumbuh
kebiasaan anak didik untuk selalu mempersiapkan diri dalam menghadapi kegiatan
sekolah.
h. Anak
didik terampil memecahkan masalah yang dihadapinya.
i.
Tumbuh kebiasaan
dan terampil membina kerja sama atau hubungan sosial dengan orang lain.
j.
Kesediaan anak
didik untuk menerima pandangan orang lai dan memberikan pandangan atau komentar
terhadap gagasan orang lain.[52]
Setiap interaksi edukatif selalu menghasilkan
perstasi belajar. Masalah yang dihadapi adalah sampai di tingkat mana prestasi
belajar yang telah dicapai. Dapatlah diketahui keberhasilan proses interaksi
edukatif yang dilakukan anak didik atau guru.[53]
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Guru
adalah seorang administrator, informator, konduktor, dan sebagainya, dan harus
berkelakuan menurut harapan masyarakat, Dari guru, sebagai pendidik dan
pembangun generasi baru diharapkan tingkah laku dan bermoral tinggi demi masa
depan bangsa dan negara.
Guru memberikan teladan
dengan sikap terhadap mata pelajaran yang mereka sampaikan dan menunjukan ke
siswa melalui contoh bahwa belajar merupakan proses yang terus-menerus, yang
memperkaya kehidupan yang tidak berakhir dengan ijazah dan wisuda.
Harus diketahui bahwa
mengajar dan belajar mempunyai fungsi yang berbeda, proses yang tidak sama dan
terpisah. Perbedaan antara mengajar dan belajar bukan hanya disebabkan karena
mengajar dilakukan oleh seorang guru sedangkan proses belajar berlangsung di
dalamnya.
Tiap guru mempunyai
hubungan yang berbeda menurut pribadi dan situasi yang dihadapi. Tipe-tipe guru
yaitu guru otoriter, guru ramah, guru dominatif, guru integratif.
Guru
dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau
perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan
seluruh pribadi peserta didik , baik jasmani, rohani, sosial maupn yang lainnya
yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada
akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan
dalam kehidupannya sebagai insan dewasa. Peserta didik tidak dapat dipandang
sebagai objek semata yang harus patuh kepada kehendak dan kemauan guru.
Proses pendidikan
banyak terjadi dalam interaksi sosial antara guru dan murid. Sifat interaksi
ini Banyak bergantung pada tindakan guru yang ditentukan antara lain oleh tipe
peranan guru. Bagaimana reaksi murid terhadap peranan guru dapat diketahui dari
ucapan murid tentang guru itu. Tentang hal ini telah dilakukan sejumlah
penelitian.
Guru hendaknya mengenal
masyarakat agar dapat berusaha menyesuaikan pelajaran dengan keadaaan
masyarakat sehingga relevan. Guru-guru kita diharapkan mengabdi kepada
masyarakat dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya dan dengan
demikian turut memberi sumbangan kepada pembangunan negara. Di mana saja guru
berada, khususnya di desa, cukup kesempatan baginya untuk berpartisipasi dan
berbakti dalam masyarakat.
B.
Saran
Kesadaran
peranan guru terhadap kelakuan murid harus sealu terjaga, supaya bisa mencapai
tujuan peranan guru yang semestinya. Dari keberhasilan interaksi antara guru
dan murid supaya tercipta hasil belajar yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi,
Ridwan. 2006. Ilmu sebagai Lentera
kehidupan. Bogor: IPB Press.
Ali, Hery Nur. 1994. Ilmu Pendidikan
Islam. Cet II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Burhanuddin,
Tamyiz. 2001. Akhlak Pesantren, Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta:Ittaka Press.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.
II. cet. IX. Jakarta: Balai Pustaka.
Djamara, Syaiful Bahri. 2002. Guru dan Anak Didik dalam
Interaksi Edukatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Echols, J. M.
dan Hasan Shadily. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Cet XX. Jakarta:
PT Gramedia.
Gunawan,
H.Ari. 2000. Sosiologi Penddikan Suatu Analiis Sosiologi tentang Berbagai Problem
Pendidikan. Jakarta:PT.Rineka Cipta.
Harefa, Andreas.
2001. Menjadi Manusia Pembelajar: Pemberdayaan Dan Transformasi Organisasi
Dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran. Cet V. Jakarta: Kompas.
Idi, Abdullah .
2011. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Langgulung,
Hasan. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta: Pustaka
Al-Husna.
Miller, Jhon P. 2002 Cerdas di
kelas sekolah kepribadian. Yogyakarta:Kreasi Wacana.
Muhaimin dan Abdul Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Tri
Genda Karya.
Nasution,
S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta:Bumi Aksara.
Nata, Abuddin.
2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Murid (Studi Pemikiran Tasawuf
Al-Ghazali). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
____.
1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Parkay,
Forest.W dan Beverly Hardcastle Stanford. 2011. Menjadi Seorang Guru, (alih
bahasa Wasi Dewanto). Jakarta Barat:PT.Indeks.
Pudjawiyatna,
dalam Hadi Supeno. 1885 Potret Guru. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
S, Nana
Syaodih. 1997. Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Sordon, Thomas. 1990. Guru yang Efektif. Jakarta: PT. Raja
Grafindo.
Soejipto, dan Raflis Kosasi. 1999. Profesi keguruan. Jakarta:
Rieneka Cipta.
Tafsir, Ahmad.
1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.
Usman, Moh. Uzer. 2001. Menjadi Guru
Profesional. cet XIII. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Zainuddin dkk.
1991. Seluk- beluk Pendidikan Dari
Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.
[1]
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.
II, cet. IX, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 330.
[2]
Pudjawiyatna, dalam Hadi Supeno, Potret Guru, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995)
hlm. 26
[3]
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia,
1992), cet XX, hlm. 581.
[4] Ibid., hlm.
207.
[5] Ibid.,
hlm. 608.
[6] Pudjawiyatna, op.
cit, hlm. 26.
[7] Ari H gunawan,
Sosiologi Penddikan Suatu Analiis Sosiologi tentang Pelgai Problem
Pendidikan,(Jakarta:PT.Rineka Cipta, 2000),
hlm. 46.
[8]
Zainuddin dkk, Seluk- beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991),
hlm. 50.
[9]
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Tri Genda Karya,
1993), hlm. 167.
[10]
Abuddin Nata, Perspektif Islam
Tentang Pola Hubungan Guru Murid (Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali), (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001). hlm. 41-42.
[11]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT.
Remaja Rosda
Karya, 1994), hlm. 74.
[12] Forest
W.Parkay dan Beverly Hardcastle Stanford, Menjadi Seorang Guru, alih
bahasa Wasi Dewanto (Jakarta Barat:PT.Indeks, 2011), hlm. 10.
[13]
Hasan Langgulung,Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, (jakarta: Pustaka
Al-Husna,
1988), cet.I., hlm.86.
[14]
Nana Syaodih S, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 1997), hlm. 191.
[15] Forest
W.Parkay dan Beverly Hardcastle Stanford, op. cit.,hlm. 23.
[16] Ridwan Afandi,
Ilmu sebagai Lentera kehidupan, (Bogor: IPB Press,2006), hlm. 61.
[17] Ibid,. hlm.
50.
[18] Moh.
Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2001), cet.XIII., hlm. 9-10.
[19] Soejipto dan
Raflis Kosasi, Profesi keguruan, (Jakarta: Rieneka Cipta,1999), hlm. 49.
[20] Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 49.
[21]
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung:
Citra Umbara, 2003), hlm. 10.
[22]
Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar: Pemberdayaan Dan Transformasi
Organisasi Dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran, (Jakarta:
Kompas, 2001) cet V., hlm 67-68.
[23] Thomas Sordon,
Guru yang Efektif, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1990), hlm 3.
[24] S.Nasution, Sosiologi
Pendidikan, (Jakarta:Bumi
Aksara,2011), hlm. 115.
[25] Abdullah Idi, Sosiologi
Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan, ( Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2011), hlm. 132-133.
[26] S.Nasution, op.cit,.
hlm. 116.
[27] Ridwan
Affandi, op. cit,. hlm. 61-62.
[28] Abdullah Idi, op.
cit,. hlm 93.
[29] Thomas Sordon,
op. cit,. hlm.26.
[30] Soejipto
dan Raflis Kosasi, op.cit,. hlm. 50.
[31] Ibid,. hlm.
103.
[32]
Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren, Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari,
(Yogyakarta:Ittaka Press, 2001), hlm. 72.
[33]
Hery Nur Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,
1994), cet II,
hlm. 129.
[34] Jhon P.Miller,
Cerdas di kelas sekolah kepribadian, (Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2002), hlm.
25.
[35] Thomas Sordon,
op. cit,. hlm. 87.
[36] S.Nasution, op.cit,.
hlm. 117
[37] Abdullah Idi, op.cit,.
hlm. 86.
[38] Ibid,. hlm.
121.
[39] Syaiful Bahri
Djamara, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 60.
[40]Ibid,. hlm. 61.
[41] Ibid,. hlm.
76.
[42] Moh.Uzer
Usman, op.cit,. hlm. 26.
[43] Ridwan
Affandi, op.cit,. hlm 65.
[44] Jhon P.Miller,
op.cit,. hlm 26.
[45] Ibid,. hlm.43.
[46] Ibid,. hlm.
45.
[47] Ibid,. hlm.
125.
[48] S.Nasution, op.
cit,. hlm. 122.
[49] Abdullah Idi, op.
cit,. hlm. 223.
[50] S. Nasution,
op. cit,. hlm. 122.
[51] Abdullah Idi, op.
cit,. hlm. 225.
[52] Syaiful Bahri
Djamara, op. cit,. hlm 87.
Post a Comment