Untuk Anda yang ingin mendownload filenya lengkap, silahkan klik link mdibawah ini!
Power Point
Download Makalah Lain :
Analisis Terhadap Psikologi Agama
Pengaruh Psikologi Agama Terhadap Perilaku Peserta Didik
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia pastilah membutuhkan interaksi dengan
orang lain, baik dalam urusan umum atau keagamaan. Manusia tidak dapat terlepas
dari hal ini karena manusia adalah makhluk sosial, dan bukanlah makhluk
individu yang dapat hidup sendirian tanpa membutuhkan orang lain. Di saat
berhubungan dengan orang lain itu, ada aturan-aturan yang harus dilakukan dan
dijaga agar hubungan dengan orang lain itu terjaga kebaikannya.
Selain berhubungan dengan orang lain, pastilah
berhubungan juga dengan Tuhan melalui ibadah yang dilakukan setiap hari. Islam
dalam hal ini telah diatur semuanya dalam ilmu fiqh dengan segala ketentuannya
yang berlaku. Ilmu fiqh telah membahas semua tanpa kecuali, akan tetapi pada
masalah yang dahulu belum ada dan belum terpikirkan, fiqh tidak membahasnya,
begitu pula syar’i juga tidak menyebutkannya. Terus bagaimana hukum ? itulah
pembahasan pada makalah ini, pemakalah akan membahas ilmu ushul fiqh, seperti
membahas dasar-dasar hukum itu bisa ada dan bagaimana cara mendapatkan hukum .
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian Ushul Fiqh ?
2.
Apa Tujuan Mempealajari Ushul Fiqh ?
3.
Apa saja Ruang Lingkup dalam Pembahasan Ushul Fiqh ?
4.
Bagaimana Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh ?
5.
Apa saja Aliran-Aliran yang ada dalam Ushul Fiqh ?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ushul Fiqh
Kata
“ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul (أصول)”
dan kata “fiqh (الفقه)”. Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata
“ashal (الأصل)” secara etimologi berarti “sesuatu yang
menjadi dasar bagi yang lainya”. Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud
definitive dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah
suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”.
Kata
“fiqh (الفقه)”
secara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Arti fiqh dari segi istilah
hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana
disebutkan di atas yaitu: “Ilmu tentang
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari
dalil-dalil tafsili”. Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami
dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang
bersifat amali dan kedua tentang dalil-dalil tafsili.
Dengan
demikian “ushul fiqh” secara istilah teknik hukum berarti : “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa
kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci,” atau
dalam artian sederhana adalah: “Kaidah-
kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hokum-hukum dari dalil-dalinya”.[1]
Setelah definisi
ushul dan fiqh diketahui, baik secar etimologi maupun terminologi, berikut ini
akan dikemukakan definisi ushul fiqh (ushuliyyin).
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh. Sebagian ahi ushul
fiqh menekankan pada fungsi ushul fiqh, sedangkan yang lainya menekankan pada
hakikatnya. Namun pada prinsipnya mereka sependapat, bahwa ushul fiqh adalah
ilmu yang objek kajianya berupa dalil hukum syara’ secara ijmal (global) dengan semua permasalahanya.[2]
B.
Tujuan Mempelajari Ushul Fiqh
Menurut Abdul
WahabKhallaf (1942), merumuskanbahwatujuanmempelajariilmuushulfiqhadalah:
1.
Menerapkan
kaidah-kaidah, teori, pembahasan dalil-alil secara terperinci, dalam
menghasilkan hukum syariat islam, yang diambil dari dalil-dalil tersebut.[3]
2.
Untuk
mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.
3.
Untuk
mempeljari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
4.
Kaum
muslimin harus bertafaqquh artinya memperdalam pengetahuan dalam
hukum-hukum agama baik dalam bidang aqaid dan akhlak maupun dalam bidang
ibadah maupun muamalah.[4]
C.
Ruang Lingkup Pembahasan Ushul Fiqh
Ruang lingkup
dalam pembahasan ushul fiqh, yaitu sebagai berikut:
1. Sumber
hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik
yang disepakati maupun yang diperselisihkan.
2. Mencari
jalan keluar dari dalil-dalil yang secara lahiriyah dianggap bertentangan.
3. Pembahasan
ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid), baik
yang menyangkut syarat-syarat umum maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang
harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan
tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya.
5.
Pembahasan
tentang kaidah-kaidah yang digunakan dengan cara menggunakannya dalam mengistinbathkan
hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman
terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash(ayat atau hadist).[5]
D.
Perkembangan Ushul Fiqh
1.
Masa
Nabi Muhammad SAW
Benih-benih
ilmu ushul fiqh sudah tumbuh dan terbentuk pada masa Rasulullah. Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan ilmu fiqh
dikembalikan kepada Rasul. Selain itu,
dalam pertumbuhan dan pembentukannya ilmu ushul fiqh juga berpijak kepada
Al-Qur’an dan Sunnah. Namun ijtihad
Nabi tidaklah dapat disamakan dengan
ijtihad sahabat, tabi’in dan lainnya, karena ijtihad Nabi terjamin
kebenarannya, dan bila salah, seketika itu juga datang wahyu untuk
membetulkannya. Demikian demi terjaganya syariat.[6]
2.
Masa
Sahabat
Setelah wafatnya
Rasulullah, maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum Islam adalah para
Sahabat Nabi. Pada masa ini para Sahabat banyak melakukan ijtihad ketika suatu
masalah tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pada saat berijtihad,
para sahabat telah menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun belum
dirumuskan dalam suatu disiplin ilmu.[7]
Ijtihad mereka dilakukan baik secara perseorangan maupun secara bermusyawarah.
Keputusan atau kesepakatan mereka dari musyawarah tersebut dikenal dengan ijma’
Sahabat. Selain itu, mereka melakukan ijtihad dengan metode qiyas
(analogi) dan mereka juga berijtihad dengan metode istishlah. Praktik
ijtihad yang dilakukan para Sahabat dengan metode-metode tersebut telah mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat itu.
3.
Masa
Tabi’in
Pada masa Tabi’in,
metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan tambah meluasnya
daerah Islam sehingga banyak permasalahan baru yang muncul.[8] Para
Tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam. Di Madinah, di Irak dan di
Basrah. Titik tolak para ulama dalam menetapkan hukum bisa berbeda, yang satu
melihat dari suatu maslahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya
melalui Qiyas. Dari perbedaan dalam mengistinbatkan hukum inilah,
akibatnya muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah Al-Irak, Madrasah
Al-Kaufah yang lebih dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Ra’yu dan Madrasah
Al-Madinah dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Hadits. Namun pada
masa ini ilmu ushul fiqh masih belum terbukukan.
4. MasaImam-imam Mujtahid sebelum
Imam Syafi’i
Pada periode ini,
metode pengalihan hukum bertambah banyak, dengan demikian bertambah banyak pula
kaidah-kaidah istinbath hukum dan teknis penerapannya. Imam Abu Hanafiah
an-Nu’man (80-150 H) pendiri mazhab Hanafi. Dasar-dasar istinbathnya yaitu :
Kitabullah, Sunnah, fatwa (pendapat Sahabat yang disepakati), tidak berpegang
dengan pendapat Tabi’in, qiyas dan istihsan. Demikian pula Imam
Malik bin Anas (93-179 H) pendiri mazhab Maliki. Di samping berpegang kepada
Al-Qur’an dan Sunnah, beliau juga banyak mengistinbathkan hukum berdasarkan
amalan penduduk Madinah.[9] Pada
masa ini, Abu Hanifah dan Imam Malik tidak meninggalkan buku ushul fiqh.
5.
Pembukuan
Ushul Fiqh
Pada penghujung abad
kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris Asy-syafi’i (150-204 H) pendiri
mazhab Syafi’i. Tampil dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul
fiqh. Pada masa ini ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan
keislaman dengan ditandai didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan
terbesar di kota Baghdad pada masa itu.[10] Dengan
berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam Syafi’i yang datang kemudian, banyak
mengetahui tentang metode istinbath para mujtahid sebelumnya, sehingga beliau
mengetahui di mana keunggulan dan di mana kelemahannya. Beliau merumuskan ushul
fiqh untuk mewujudkan metode istinbath yang jelas dan dapat dipedomani oleh
peminat hukum Islam, untuk mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur
kebenaran hasil ijtihad di masa sebelumnya.
Beliau merupakan orang
pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh. Kitabnya yang berjudul Al-Risalah(sepucuk
surat) menjadi bukti bahwa beliau telah membukukan ilmu Ushul fiqh. Dalam
kitabnya Imam Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat
yang tidak shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak
dan Madinah. Kitabnya tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan
pembentukan fiqh.
6.
Ushul
Fiqh Pasca Syafi’i
Kandungan kitab Al-Risalah
ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan pembahasan para ulama ushul
fiqh secara luas. Ada yang membahas secara men-syarh (menjelaskan) tanpa
mengubah atau mengurangi yang dikemukakan Imam Syafi’i dalam kitabnya. Tapi, ada
juga yang membahas bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i.
Masih dalam abad
ketiga, banyak bermunculan karya-karya ilmiah dalam bidang ini. Salah satunya
buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh oleh Ahmad bin Hanbal (164-241H) pendiri
mazhab Hanbali. Pertengahan abad keempat ditandai dengan kemunduran dalam
kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dengan pengertian tidak ada lagi orang yang
mengkhususkan diri membentuk mazhab baru. Namun kegiatan ijtihad dalam bidang
ushul fiqh berkembang pesat. Para ahli analisis ushul fiqh mengatakan bahwa
pada masa keempat imam mazhab tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang
sempurna, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung memilih dan
menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang dihadapi pada zaman
masing-masing.[11]
E.
Aliran-aliran Ushul Fiqh
1.
Aliran
Mutakalimin (Syafi’iyah)
Aliran
Syafi’iyah atau sering dikenal dengan Aliran Mutakallimin (Ahli Kalam). Aliran
ini disebut Syafi’iyah karena Imam Syafi’i adalah tokoh pertama yang menyusun
ushul fiqih dengan menggunakan metode ini.Aliran ini berpegang pada
analisis-analisis kebahasaan (linguistic). Dalam membangun teori, aliran
ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik dari naqli (Al-Qur’an
dan atau Sunnah) maupun dari aqli (akal pikiran), tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah furu’ dari berbagai mazhab, sehingga teori tersebut
adakalanya sesuai dengan furu’ dan adakalanya tidak.[12]
Ketidakterikatan dengan masalah-masalah furu’ yang telah ada dari suatu
mazhab, menjadikan pembahasan mereka lebih bersifat teoritis.
Para ulama
Mutakallimin ini menciptakan kaidah-kaidah ushul atas tuntutan ilmiah
dan melakukan langkah-langkah secara deduktif.[13]Deduktif
merupakan sebuah cara berpikir yang dilakukan dengan cara menyusun kaidah guna
mengistinbath hukum dari narasumbernya. Namun demikian, ulama ushul tetap
mempelajari masalah fiqhiyah terlebih dahulu sebelum mepelajari ushul.
Hal ini untuk mengetahui pemikiran para mujtahid dan mengetahui
metode istinbath mereka.
Diantara
kitab-kitab ushul fiqh yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut:
a.
Kitab
Al-‘Ahd, hasil karya Al-Qadhi Abul Hasan Jabbar (wafat 415 H)
b.
Kitab Al-Mu'tamad,
hasil karya Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu'taziliy
asy-Syafi'iy (wafat 463 H).
c.
Kitab Al-Burhan,
hasil karya Abdul Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy an-Naisaburiy
asy-Syafi'iy yang terkenal dengan nama Imam Al-Huramain (wafat 487 H).
d.
Kitab
Al-Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy
Asy Syafi ' iy (wafat 505 H).
2.
Aliran
Fuqaha (Hanafiyah)
Aliran fuqaha
dalam membangun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’
dalam mazhab mereka. Penetapan kaidah-kaidah ushul berdasarkan
hukum-hukum furu’(hukum yang sudah berkembang dimasyarakat).[14]Artinya
mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap
masalah-masalah furu’ yang ada dalam mereka. Dalam menetapkan teori
tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu’,
maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut.[15]
Diantara
kitab-kitab ushul fiqh yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut:
a. Kitab Al-Fushul
fi al-Ushul, oleh Abu Bakar al-Razi yang lebih dikenal dengan sebutan al-Jashshash
(w. 370 H)
b. Kitab Al-Taqwim
fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu Zaid al-Dabbusi (w. 430 H)
c. Kitab Ushul
al-Sarakhsi, oleh Muhammad al-Sarakhsi (w. 430 H)
d. Kitab Kanz
al-Wushul ila ma’rifat al-Ushul, oleh Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 482 H)
3.
Aliran
Gabungan
Aliran yang
menggabungkan kedua metode yang dipakai dalam menyusun ushul fiqih oleh aliran
Syafi’iyah dan aliran Hanafiyyah. Aliran ini mengemukakan bahwa alasan-alasan
yang kuat dan juga memperhatikan penyesuaiannya dengan hukum-hukum furu’ yang
telah ada.[16]
Diantara mereka
itu adalah:
a.
Muzhaffarudin al-Sa’ati (w. 694 H) menulis kitab Badi’u
al-Nidzam. Kitab ini perpaduan antara kitab Ushul al- Bazdawi yang
ditulis oleh al-Bazdawi dengan kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam yang
ditulis al-Amidi.
b.
Shadr al-Syari’ah ‘Ubaidillah bin Mas’ud al-Bukhari
al-Hanafi (w. 747 H) menulis kitab Tanqih al-Ushul. Kitab tersebut
merupakan ringkasan dari kitab Ushul al-Bazdawi, al-Maushul dan Mukhtashar
al-Muntaha.
PENUTUP
Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam
menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang
harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam
penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari pada ilmu ushul fiqh.Ushul fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang
kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara mengenai perbuatan
manusia dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah tentang
hal-hal tersebut.Secara garis besar objek bahasan ushul fiqih adalah sumber
hukum syara’ dengan semua seluk beluknya, Metode pendayagunaan
sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya, dan Persyaratan
orang-orang yang berwenang melakukan istinbath.
Secara rinci ushul fiqih berfungsi sebagai Memberikan
pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama
mujtahid dalam menggali hukum, Menggambarkan persyaratan yang harus
dimiliki seorang mujtahid, Memberi bekal untuk menentukan hukum-hukum yang
baru, Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil
yang mereka gunakan, dengan demikian kita bisa memilih pendapat mereka.
PerananushulfiqihterhadappengembanganfiqihIslam
dapatdikatakansebagaikerangkaacuan yang
dapatdigunakansebagaipengembanganpemikiranfiqihislam.Pada hakikatnya ilmu ushul
fiqh dan ilmu fiqh itu telah ada pada saat yang bersamaan, namun pada saat itu
ilmu ushul fiqh belum dipandang sebagai suatu ilmu, tetapi metode-metode yang
telah digunakan pada saat itu untuk menetapkan suatu hukum yaitu dengan cara
teori ushul fiqh, seperti berdasarkan Al-Qur’an, sunah dan ijtihad. Ilmu ushul
fiqh dibukukan (kodifikasi) pada masa Imam Asy-Syafi’i. Hal tersebut
ditunjukkan dengan karyanya yang berjudul Al-Risalah (sepucuk surat).
Setelah masa imam Syafi’i banyak karya-karya di bidang ushul fiqh yang
bermunculan, itu menandakan bahwa perkembangan ilmu ushul fiqh sangat pesat
pada masa itu.
Anwar, Syahrul. 2010. Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Bogor:
Ghalia Indonesia
Chaerul Umam, Ushul fiqih 1 (Bandung: Pustaka Setia,
2008), hlm. 26-27
Dedi Rohayana,Ade. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan:
STAIN Pekalongan Press
Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua.
Jakarta: Kencana
Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh Cet-2. Jakarta:
PT Logos Wacan Ilmu
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus
Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah
Karim, Syafi’i. 1997. Fiqih/Ushul Fiqih. Bandung:
Pustaka Setia,
Syarifudin, Amir. 1997. Ushul Fiqih Jilid 1.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu
[1]
Amir Syarifudin, UshulFiqihJilid 1(
Jakarta: Logos WacanaIlmu, 1997), hlm. 35
[2] Ade
DediRohayana, IlmuUshulFiqih
(Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2006), hlm.8-9
[6]A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana,
2010), hlm. 19
[12]Nasrun Haroen, Op. cit, hlm 12
[13]Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta:
Amzah, 2005), hlm. 345
[15]Nasrun Haroen, Op. cit,hlm 13
[16]Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op. cit, hlm. 347
Post a Comment