0 Komentar
Bagi anda yang ingin mempunyai file makalah ini, silahkan bisa download.

Makalah Ulumul Hadits (Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits)

Makalah Ulumul Hadits (Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits)


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Setiap zaman pasti mengalami perkembangan sehingga tidak mengalami kestatisan. Begitu halnya dengan ilmu, sejalan dengan berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan pun terus berkembang. Banyak manusia-manusia yang selalu haus akan ilmu pengetahuan sehingga menjadikan ilmu pengetahuan terus berkembang dan mengalami kemajuan.  Walaupun kadang kala pengembangan ilmu pengetahuan mengalami stagnasi. Namun, suatu ketika ilmu pengetahuan akan kembali berkembang dan mungkin akan membentuk suatu percabangan disiplin ilmu.
Hadis merupakan salah satu dasar hukum Islam. Hadis memang akan tetap sama dalam hal konteks dan ajarannya. Namun, berbeda dengan ilmu hadis, ia terus berkembang dan berkembang hingga memunculkan banyak percabangan-percabangan ilmu hadis.
Sejak zaman Rasulullah SAW ilmu hadis telah muncul walaupun hanya embrionya saja. Namun, hingga saat ini ilmu hadis masih mengalami perkembangan dan sekarang telah muncul percabangan-percabangan ilmu hadis. Termasuk munculnya ilmu nasikh walmansukh


  
BAB II
Ilmu Nasikh Walmansukh
            Cabang – cabang ilmu hadis ini disamping bermacam dan beragam juga dapat diklasifikasi dari beberapa segi. Di antaranya cabang – cabang ilmu hadis dapat diklasifikasi menjadi tiga bagian dilihat dari segi sanad, dari segi matan, dari segi sanad dan matan. Disiplin – disiplin ilmu yang berpangkal pada sanad adalah: ilmu Rijal al-Hadits, Thabaqat al-Ruwah, Tarikh Rijal al-Hadits, dan al-Jahr wa al-Ta’dil. Ilmu – ilmu yang berpangkal pada matan antara lain: Ilmu Gharib al-Hadits, Asbab Wurud al-hadits, Tawarikh al-Mutun, Nasikh wa al-Mansukh, dan Talfiq al-Hadits. Sedang ilmu - ilmu yang berpangkal pada sanad dan matan antara lain ilmu ‘Ilal al-Hadits. Namun, pada makalah ini akan fokus kepada pembahasan mengenai Nasikh wal Mansukh Hadis.[1]
A.      Pengertian Nasikh wal Mansukh
Nasikh dan mansukh berasal dari kata al-nasakh. Secara bahasa kata al-nasakh memiliki beberapa makna diantaranya al-izalah (menghilangkan), al-tabdil (mengganti), al-tahwil (mengalihkan) dan al-naql (memindahkan). Menurut terminologi Abu Hafs ibn Ahmad ibn ‘utsman Ibn Shahih, nasakh mempunyai dua definisi: (1) nasakh berarti penjelasan tentang berakhirnya hukum syara’ melalui jalan hukum syara’ karena adanya rentang waktu. Maka, dalam hal ini hukum pertama menjadi mansukh karena batas waktunya telah tiba dan bersamaan dengan itu datang hukum lain sebagai pengganti. (2) Menurut sebagian ahl al-ushul, nasakh adalah penghapusan suatu  hukum  syara’ dengan dalil syara’ karena adanya rentang waktu.[2]
Adapun An-Nasakh menurut istilah, sebagaimana ulama ushul adalah:

    مُتَأَخِّرٍ مِثْلِهِ شَرْعِيٍّ بِحُكْمٍ الْمُكَلَّفِ عَنِ شَرْعِيٍّ حُكْمٍ رَفْعِ
Artinya:
“Syari’ mengangkat (membatalkan) suatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i yang datang kemudian.”
Konsekuensi dari pengertian ini adalah bahwa menerangkan nash yang mujmal, menakhsiskan yang ‘am dan men-taqyid-kan yang mutlak tidaklah dikatakan nasakh.[3]
Kata An-Nasakh menurut bahasa dapat dijumpai dalam Al-Qur’an, antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat 106.
2_106.GIF




Artinya:
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu menngetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Adapun yang dimaksud dengan ilmu nasikh wa al-mansukh dalam hadis adalah berikut ini.
هوالعلم ااذ ي يبحث عن الاحاديث المتعارضة التلى لايمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها باء نه ناسخ, وعلى بعضهاالاخر بانه منسوخ, فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا.
Artinya:
 “ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian dinamakan nasikh.”
Sebagaimana kita ketahui, bahwa di dalam hadits terdapat nasikh mansukh yaitu penghapusan sesuatu hadits lain atau oleh al-Qur’an. Pembahasan tentang  nasikh mansukh secara umum banyak dibahas dalam kitab-kitab ushulul fiqh.
Pembahasan nasikh walmansukh dalam ilmu hadis sering-sering  terjadi tumpang tindih dengan apa yang dibahas oleh Ilmu ushulul fiqh. Barangkali karena pembahasan tentang nasikh mansukh itu sendiri sering menjadi pembicaraan para ulama dan mereka juga banyak  berbeda pendapat.[4]
Apabila didapati sesuatu  hadits yang maqbul, tidak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut muhkam. Jika dilawan oleh hadits yang sederajat, tetapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar, maka hadits tersebut dinamai mukhtalif al-hadits. Jika tidak mungkin dikumpulkan dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamakan nasikh dan yang terdahulu dinamakan mansukh[5]
Nasikh adalah yang menghapus atau yang membatalkan, yang kadang-kadang dilakukan oleh Rasulullah SAW sendiri, seperti sabdanya: “Aku pernah melarangmu mempertahankan daging korban lebih dari tiga hari, lalu makanlah dari yang ada.” Ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hadis Buraidah.[6]
Kadang-kadang pula pembatalan itu dengan merujuk kepada sejarah, seperti dijelaskan dalam sebuah hadis:  “Sama batalnya orang yang membekam dan yang dibekam.” Ini berkenaan dengan kasus Ja’far bir Abu Thalib, sebelum penaklukan kota Mekah. Sedangkan Ibnu Abbas berkata: “Nabi melakukan pembekaman ketika sedang berpuasa dan ihram.” Keduanya jelas bertentangan. Tetapi Ibnu Abbas dan ayahnya baru memeluk agama Islam pada masa penaklukan kota Mekah.[7]
Dari pembahasan tersebut, maka Ilmu Nasikh dan Mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadis – hadis yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadis dihukumi sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Hadis yang lebih dulu disebut sebagai mansukh dan yang lain yang datang kemudian sebagai nasikh.
B.            Ulama-ulama Nasikh wal Mansukh
Dalam pembahasan ilmu nasikh wal mansukh hadis terdapat beberapa tokoh ulama yang berjasa dalam persoalan ini. Di antara ulama-ulama yang berjasa dalam persoalan ini antara lain berikut di bawah ini.
1.         Ahmad bin Ishak Ad-Dainari (318 H).
2.         Muhammad bin Bahar Al-Ashbahani (322 H).
3.         Ahmad bin Muhammad An-Nahhas (338 H).
4.         Muhammad ibn Muhammad Al-Hazimi (584 H) menyusun kitab yang bernama Al-I’tibar , kitab yang cukup terkenal dalam soal ini, yang pernah diringkaskan (diikhtisarkan) oleh Ibnu ‘Abdil Haq (744 H).[8]
5.         Ibnu al-Jauzi (597 H).
6.         Qatadah ibn Di’amah al-Sudusi (61-118 H) dengan kitabnya al-Nasikh wa al-Mansukh, hanya saja kitab ini, menurut ‘Ajjaj al-khatib, belum sampai kepada kita.
7.         Abu Bakar Ahmad ibn Muhammad al-Atsram (w.261 H) dengan kitabnya Nasikh al-Hadits wa Mansukhuh yang ditulis antara abad kedua dan ketiga Hijriah.[9]









BAB III
PENUTUP
A.           Simpulan
               Ilmu Nasikh wal Mansukh Hadis merupakan salah satu cabang ulumul hadis. Mengenai pengertian dari nasikh wal mansukh mempunyai beberapa pengertian. Namun, pada intinya Nasikh wal Mansukh memiliki pengertian yaitu penghapusan sesuatu hadits lain atau oleh al-Qur’an. Dikarenakan dalam hal ini menyangkut hadis, maka nasikh mansukh  merupakan penghapusan suatu hadis.
               Ilmu Nasikh dan Mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadis – hadis yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadis dihukumi sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Hadis yang lebih dulu disebut sebagai mansukh dan yang lain yang datang kemudian sebagai nasikh.
               Dalam pembahasan ilmu nasikh mansukh hadis banyak ulama-ulama yang ikut berjasa, seperti menyusun kitab-kitab nasikh dan mansuk ini, diantaranya Ahmad ibn Ishaq ad-Dinary (318 H.), Muhammad ibn Bahar al-Ashbahany (322 H.),Ahmad ibn Muhammad an-Nahhas (338 H.). kemudian sesudah beberapa ulama lagi menyusunnya, muncullah Muhammad ibn Musa al-Hazimy (584 H.) menyusun kitabnya yang dinamai Al-I’tibar. Kitab ini mudah diperoleh. Kitab Al-I’tibar itu telah diringkaskan ole Ibnu Abd al-Haqq (744 H.).

  
DAFTAR PUSTAKA
Faridl, Miftah.1997. As-Sunnah. Bandung: Pustaka
Muhammad Hasbi ash-Siddieqy, Teungku. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Riski Setia
Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia
As-Shalih, Subhi. 2002. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.




[1] Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 75.
[2] Ibid, hlm. 75.
[3] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 53.
[4] Miftah faridl, As-Sunnah, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 88.
[5] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Riski Putra, 2009), hlm. 121.
[6] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm.116.
[7] Ibid, hlm. 117.
[8] Miftah faridl, Op.Cit.  hlm. 88. As-Sunnah , MIFTAH FARIDL, Pustaka, Bandung 1997
[9] Op.Cit, hlm. 76.

Post a Comment

 
Top