0 Komentar
Bagi anda yang ingin mempunyai filenya, silahkan download!.

Baca Makalah Lain:




Makalah Fiqih (Warisan Bayi Dalam Kandungan)

Makalah Fiqih (Warisan Bayi Dalam Kandungan)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 

Persoalan  yang disinggung secara mendetail dalam al-Quran adalah persoalan waris. Hal ini memang persoalan waris mencakup cakupan yang dalam terkait persolan harta yang menjadi peninggalan sanak kerabat sehingga perlu dijelaskan secara mendetail. Hal ini dikarenakan, Persoalan yang menyangkut harta ini sering menimbulkan persengketaan di antara ahli waris apabila tidak dibagikan secara benar sebagaimana tuntunan syar’i. 

Pada pembahasan ini dipaparkan persoalan yang terkait pembagian ahli waris khuntsa (banci) dan bayi dalam kandungan. Para ulama berbeda pendapat terkait status dari seseorang yang disebut sebagai ‘khuntsa’. Seseorang dikatakan khuntsa manakala ia berperilaku tidak seperti lazimnya (abnormal) maka perlu adanya klarifikasi terhadap status seseorang tersebut sebelum harta peninggalan dibagikan. 

Maka, untuk lebih lanjut pembahasan terkait ahli waris khuntsa Musykil dan bayi dalam kandungan akan dipaparkan pada makalah ini.    

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat kami rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian hamil?
2. Apa syarat bayi dalam kandungan agar mendapat warisan?
3. Bagaimanapembagian warisan untuk bayi yang ada dalam kandungan?
4. Apa pengertian banci?
5. Bagaimana pembagian warisan untuk banci?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Warisan bayi dalam kandungan

a. Pengertian hamil

Al-haml (hamil) dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar dari kata hamalat. Dikatakan “Al-mar’ah haamil ma haamilatun idza kaanat hublaa” (wanita itu hamil apabila ia sedang mengandung janin). Sedangkam menurut fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya, baik laki-laki maupun perempuan. 

Yang pasti janin itu haruslah hidup, dan untuk membuktikan bahwa janin itu hidup maka harus dilakukan dengan cara melakukan tes USG  atau dengan menyaksikan ketika dilahirkan.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup)ketika pewaris wafat. Dengan demikian, bagi janin yang masih ada dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu lahir dengan selamat atau tidak. 

Dengan demikian dapat dikatakan selama janin yang dikandung belum dapat diketahui dengan pasti keadaannya, mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagain waris yang diterimanya. 

Namun apabila para ahli waris menginginkan  agar pembagian harta warisan dibagikan segera, maka harta warisan dapat dibagi dengan memperhitungkan bagian yang lebih menguntungkan baginya, antara laki-laki dan perempuan. Kemudian bagian anak tersebut disimpan/ditahan sementara anak tersebut belum lahir. Namun apabila saat kelahiran kenyatannya berbeda dengan perkiraan, maka harta warisan dapat dibagi ulang. Oleh karena itu perlu ada jaminan bahwa ahli waris yang telah menerima itu, rela mengembalikan warisan yang menjadi hak bayi, jika tidak sesuai dengan perkiraan semula. Tetapi jika tidak ada jaminan untuk itu, maka pembagian warisan ditangguhkan sampai bayi dilahirkan. 

b. Syarat bayi dalam kandungan

Janin dalam kandungan berhak menerima warisan dengan memenuhi dua persyaratan:
1. Janin tersebut diketahui pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris meninggal.
2. Bayi dalam keadaan hidup ketika dilahirkan oleh ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat  warisan. 

c. Keadaan janin

Lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. kelima keadaan tersebut:
1. Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apapun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki ataupun perempuan. Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada secara langsung, tanpa harus menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan janin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi. Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang hamil dari ayah tiri pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki seibu pewaris. Dalam keadaan demikian berarti mahjub hak warisnya oleh adanya ayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya dibagikan kepada isteri  1/4, ibu 1/3 dari sisa setelah diambil hak isteri, dan sisanya menjadi bagian ayah sebagai ashabah.

2. Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin ganda (banci). Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun untuk sementara bagiannya dibekukan hingga kelahirannya. Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya. Namun, bila lahir dan ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan lagi kepada ahli waris yang ada. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan ipar perempuan yang sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat ¼ dan sisanya yang 2/3 dibekukan hingga janin yang ada didalam kandungan itu lahir. Bila yang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa harta yang dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-laki (anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih utama dibanding kedudukan paman kandung. Namun, apabila yang lahir anak perempuan , maka sisa harta waris yang dibekukan itu menjadi hak paman. Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunan saudara laki-laki) termasuk dzawil arham.

3. Sebagai ahli ada waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Apabila janin yang ada  di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala keadaannya, hanya saja hak waris yang dimilikinya berbeda-beda bisa laki-laki dan bisa perempuan. Maka dalam keadaan demikian hendaknya kita berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang maksimal. Sebab, boleh jadi bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh bagian daripada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang ada lebih sedikit dari bagian-bagian masing-masing. Sebagai contoh, sseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai laki-laki, berarti kedudukannya sebagai anak laki-laki pewaris, dan pembagiannya seperti berikut: ibu seperenam (1/6), ayah seperenam (1/6), dan bagian istri seperdelapan (1/8), dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki sebagai ashabah.

4. Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan. Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun perempuan, maka kita sisihkan bagian warisnya. Dan kita berikan bagian para ahli waris yang ada secara sempurna. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris). Apabila janin telah keluar dari rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam (1/6), baik ia laki-laki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian, kedudukan bayi akan tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam kedua keadaannya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan.

5. Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhul (terhalang) hak warisnya karena adanya janin. Apabila tidak ada ahli waris lainselain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli waris lain akan tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin tersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka dialah yang akan mengambil hak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris yang ada  akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang hamil (istri dari anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih dalam kandungan merupakan pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai laki-laki ataupun perempuan. Karenanya akan menggugurkan hak waris saudara laki-laki pewaris yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki  berarti kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan begitu dia akan mengambil seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai perempuan, maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan mendapat bagian ½ harta waris yang ada, dan sisanya akan dibagikan sebagai tambahan (ar-radd) bila ternyata tidak ada ashabah. 

B. Warisan untuk Banci

a. Definisi Banci
Khuntsa (banci) dalam bahasa arab diambil dari kata al- khanata yang berarti lemah dan pecah. Sedangkan menurut istilah khuntsa adalah orang orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan alat kelamin wanita atau tidak mempunyai alat kelamin dari keduanya. 
Khuntsa terbagi menjadi dua, yaitu: 
1. Khunsa ghoiru musykil, yaitu khunsa yang melalui alat yang ada dapat dipastikan jensi kelaminya. Bila melalui tanda yang ada dapat dipastikan dia laki-laki, maka alat kelamin yang satu lagi disebu talat kelamin tambahan, begitu sebaliknya.
2. Khunsa musykil, yaitu khunsa dengan segala macam cara pembuktian alat tidak dapat dipastikan jenis kelaminya.
Untuk mengetahui orang itu laki-laki atau perempuan dapat dilihat dari cara buang air kecilnya. Jika ia buang air kecil dari alat kelamin laki-laki maka ia dihukumi sebagai laki-laki dan sebaliknya. Namun jika ia buamg air kecil dari kedua alat kelaminnya secara bersamaan, inilah yang dinamakan sebagai khuntsa musykil. Dan ia akan tetap musykil sampai dewasa, sampai ciri-ciri atau tanda-tanda dari seorang laki-laki atau wanita dapat dilihat, seperti kalau laki-laki mengalami mimpi basah dan wanita mengalami menstruasi dan ciri-ciri fisik yang lainnya. Namun jika kedua tanda itu tidak dapat ditemukan, ia tetap berstatus sebagai khuntsa musykil. 
b. Jumlah Ahli Waris Khuntsa Musykil
      Para alama Faraidh meneteapkan bahwa para ahli waris khunsa musykil itu hanya berjumlah tujuh orang dan tercakup dalam empat kelompok, yaitu: 
1. Garis anak (jihat Banuwah) yaitu anak dan cucu
2. Garis Saudara (Jihat Ukhuwah) yaitu saudara dan anak saudara
3. Garis Paman (Jihat ‘Umumah) yaitu paman dan anak paman
4. Perwalian Budak (Jihat Wala’) yaitu hanya seorang saja yakni maulal mu’tiq (tuan yang memrdekakan budaknya).
Selain Tujuh di atas tidak ada. Suami, istri, ayah, ibu, kakek, dan nenek tidak mungkin mreka sebagai khuntsa musykil. Andai kata ada, mereka bukan musykil lagi.
c. Bagian Warisan Khuntsa Musykil

Berkaitan dengan kewarisan khuntsa musykil, ada tiga pendapat ulama:

1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa Khuntsa Musykil mendapat bagian terkecil dari dua bagian, yaitu bagian apabila dia dianggap laki-laki dan bagian apabila dia dianggap perempuan. Bagian terkecil dari dua bagian itulah yang akan diberikan kepada Khuntsa Musykil. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat Imam Syafi’i dan pendapat kebanyakan golongan sahabat. Pendapat ini didasarkan kepada suatu ketentuan bahwa untuk memiliki harta benda harus dengan cara meyakinkan. Dalam masalah ini terdapat keraguan antara bagian warisan terkecilah yang diberikan kepada Khuntsa Musykil atau bagian warisan terbesar. Untuk menghilangkan keraguan serta memperoleh keyakinan, maka ditetapkanlah bagian yang terkecil dari dua cara pembagian tersebut.

2. Menurut Mazhab Maliki berpendapat bahwa Khuntsa Musykil diberi bagian yang pertengahan diantara dua bagian. Cara menyelesaikanya dengan dua tahap. Tahap pertama dicari berapa bagian pada saat di dianggap sebagai laki-laki. Tahap kedua dicari berapa bagian pada saat dia dianggap sebagai perempuan. Bagian tahap pertama ditambahkkan pada bagian pada tahap kedua, kemudian hasilnya dibagi dua. Itulah bagian yang diberikan kepada Khuntsa Musykil tersebut. 

3. Ulama Syafi’iyah berpendapat, bagian setipa ahli waris khuntsa musykil diberikan dalam jumlah yang minimal. Pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris, sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semsestinya. 
Contoh penyelesaian pembagian warisan bannci:
1. Seseorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waruis suami, ibu, dan seorang saudara khunsa musykil sekandung. Harta warisannyaberjumlah Rp. 36.000. untuk menyelesaikan pembagian warisan ini adalah sebagai berikut:

Tahap pertama:

Suami: ½
Ibu:1/3
Saudara khunsa kandung ( dianggap laki-laki): ashabah
Asal masalah: 6
Suami:                            1/2 x 6= 3
Ibu :                                1/3x 6= 2
Saudara khunsa laki-laki:     6-5=1
Jumlah=                                      6
Suami :3/6x 36.000=18.000
Ibu:2/6x 36.000= 12.000
Saudara khunsa laki-laki:1/6x 36.000=6000
Tahap kedua:
Suami: 1/2 x 6=3
Ibu:1/3x6=2
Saudara khunsa dianggap perempuan:1/2x 6=3
Jumlah                                                            8
Suami: 3/8x36.000=13.500
Ibu:2/8x 36.000=9000
Saudara khunsa(pr): 3/8x36.000=13.500
Dengan demikian, kalau dipakai pendapat madzhab Hanafi maka bagian khunsa tersebut adalah tahap pertama Rp. 6.000. sedangkan kalau menurut madzhab Maliki, hasil penjumlahan tahap pertama dengan tahap kedua yaitu Rp 6.000+13.500=19.500, kemudian dibagi dua (Rp. 19.500:2=9.750).


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Saebani, Beni. 2009. Fiqh Mawaris cet I. Jakarta
Ali Ash-Shabuni, Muhammad. 1995. Pembagisn Waris menurut Islam. Jakarta
Husein Nasution, Amin. 2012. Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam cet 2. Jakarta
Mardani. 2014. Hukum Kewarisan di Indonesia cet I. Jakarta



Post a Comment

 
Top