0 Komentar
Bagi anda yang ingin mempunyai filenya, silahkan download!.



Baca Makalah Lain:




Makalah Ulumul Hadits (Perawi Dan Syahadah)

Makalah Ulumul Hadits (Perawi Dan Syahadah)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits merupakan pernyataan, pengalaman, taqrir dan hal-ihwal Nabi Muhammad saw. Dan merupakan sumber ajaran islam yang kedua setelah al-qur’an. Dilihat dari segi periwayatannya sebagian besar dari hadits Nabi tidak mutawatir. Oleh karena itu, pengkaji ajaran islam dituntut untuk memiliki kecermatan dalam menelaah kualitas hadits.

Perawi merupakan bagian dari hadits. Dan untuk menjadi seorang perawi harus memiliki syarat-syarat untuk menjadi perawi hadits. Diantara syarat menjadi perawi adalah islam, berakal sehat, jujur, dhobith. 

Terdapat beberapa metode dalam menyampaikan hadits. Yang dilakukan oleh Nabi, para ulama sampai kepada kita selaku umatnya. Sebagai umatnya kita perlu mengetahui metode untuk menyampaikan hadits, untuk itu kami akan membahasnya dalam makalah ini.  

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut perlu kiranya penulis merumuskan beberapa masalah sebagai acuan untuk mengkaji makalah ini. Adapun rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut:

1. Apa saja definisi riwayat dan syahadah dan bagaimana cara membedakan keduanya ?
2. Apa saja syarat-syaratnya menjadi perawi ?
3. Bagaimana metode-metode dalam penyampaian hadits ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi riwayat dan syahadah

1. Pengertian riwayat

Dalam bahasa Arab, Kata ar-riwayat  adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti an-naql (penukilan), al-zikir (penyebutan), al-fatl (pintalan), dan al-istiqa (pemberian minum sampai puas). Dan dalam bahasa Indonesia, kata riwayat yang berasal dari bahasa Arab itu mempunyai arti antara lain : cerita dan sejarah.

Menurut istilah ilmu hadits, al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta menyandarkan hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk bentuk tertentu.  Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat, tetapi tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits. Dalam menyampaikan hadits harus menyebutkan rangkaian periwayatnya. 

Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits yaitu :
1) Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits.
2) Kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain.
3) Ketika hadits itu disampaikan susunan periwayatnya disebutkan. 

Orang yang melakukan periwayatan hadits disebut al-rawiy (periwayat), apa yang diriwayatkan disebut al-marwiy. Kegiatan yang berkenaan dengan seluk-beluk penerimaan dan penyampaian hadits disebut dengan tahammul wa ada’al hadits. 

2. Pengertian syahadah

Menurut bahasa, syahadah mempunyai tiga arti :
Pertama, menghadiri atau mendapati. Biasa dikatakan syahida badrun : ia menghadiri peperangan badar, syahidna shalatal ‘ied ; kami menghadiri shalat hari raya.
Abu Ali berkata, makna inilah yang diberikan pada firman Allah :      

                       فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ  :185                     
                                   
Artinya;        Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, (QS. Al-Baqarah 185)

Kedua, mengabarkan. Biasa dikatakan syahida bikadza indal hakimi : dia terangkan begini dimuka hakim. 

Ketiga, mengetahui. Dan secara istilah adalah : “suatu khabar yang khusus, dimaksudkan untuk menjadi dasar putusan hakim”. Demikian menurut Al-Mazari dalam syarah Al-Burhan. Menurut Ibnu Faris : “mengabarkan yang disaksikan”.

3. Perbedaan antara riwayat dan syahadah

Kalangan Ulama ada yang menghubungkan dan membandingkan periwayatan hadis dengan kesaksian atau syahadah.
Menurut ulama perbedaan antara riwayat dan syahadah yaitu:
1) Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba sahaya, sedangkan saksi hanya orang yang berstatus merdeka saja.
2) Periwayat untuk berbagai macam peristiwa yang diriwayatkannya dapat berjenis laki-laki atau pun wanita, sedangkan saksi untuk peristiwa-peristiwa tertentu harus laki-laki.
3) Periwayat boleh orang yang buta matanya asalkan pendengarannya  baik, sedangkan saksi tidak boleh buta matanya.
4) Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang dijelaskan dalam riwayat yang dikemukakannya, sedangkan saksi tidak sah bila memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang diberikan kesaksiaan perkaranya.
5) Bilangan periwayat tidak menjadi persyaratan sahnya periwayatan, sedangkan saksi untuk peristiwa-peristiwa tertentu haruslah lebih dari satu orang.
6) Periwayat dapat saja mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang disinggung dalam berita yang diriwayatkannya, sedangkan saksi dengan orang yang disebutkan dalam peristiwa yang disaksikannya tidak boleh terdapat permusuhan.

B. Syarat-syarat menjadi perawi :

a. Islam
Islam adalah syarat yang paling utama.Maka periwayatan orang kafir ditolak secara tegas oleh Al-Qur’an,Sunah dan ijma’.
b. Berakal sehat
Berakal sehat menjadi sandaran utama dalam pembebanan hukum.Selain mukallaf seperti anak kecil dan orang gila,tidak diterima periwayatannya begitu juga persaksiannya. Adapun orang yang hilang akalnya tidak sejak kecil, seperti orang yang kacau pikirannya, yang banyak menimpa kebanyakan para penghafal hadits terkemuka dalam usia lanjutnya, maka para ulama mengharuskan adanya pengkajian terhadap permasalahan ini tentang waktu terjadinya, ilmu pengetahuannya, dan sejauh mana kekacauan pikirannya dengan cermat. 
c. Baligh
Hadits yang diterima oleh anak-anak yang tamyis yang disampaikan setelah ia dewasa, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama menerimanya dan sebagian lainnya menolak. Pendapat yang paling sahih adalah pendapat yang membolehkan.
d. Jujur
Jujur sebagai sandaran berita dan merupakan sifat para nabi. Adapun dusta akan menghilangkan kepercayaan. Jika seorang perawi mendustakan Rasulullah SAW dengan memalukan hadits atau mengaku mendengar dari rasul dan sebagainya, menurut sekelompok ulama kritik terkemuka haaditsnya ditolak sekalipun ia telah bertobat. Sedangkan orang yang dikenal sebagai orang yang longgar (Al-Tasahul) dalam meriwayatkan hadits dan kurang perhatian di dalam dasar-dasar penerimaan dan periwayatan juga ditolak periwayatannya karena syarat kejujuran menuntut adanya ketelitian dan kecermatan, dan hal ini tidak terdapat dalam orang yang bersikap longgar dalam penerimaan dan penyampaian hadits sehingga ditolak periwayatannya.
e. Adil (‘adalah)
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap takwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan dari dosa besar dan kecil dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, serta selalu menjada kepribadian.
f. Dhabith
Artinya riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat perawi-perawi lain yang dipercaya, tidak jelek hafalannya, tidak sering melakukan kesalahan, tidak pelupa dan tidak melakukan prasangka buruk.
g. Normal pendengarannya, dan tidak tuli
h. Bukan mudallis (pemalsu hadits).


C. Metode-Metode dalam Penyampaian Hadits

1. Cara Nabi menyampaikan hadits
Apabila kedudukan Nabi tersebut dilihat dan dihubungkan dengan bentuk-bentuk hadits yang terdiri dari sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwalnya, maka dapatlah dinyatakan bahwa hadits Nabi telah disampaikan oleh Nabi dalam berbagai cara yaitu:
a. Dengan cara lisan di depan orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki
b. Dengan pengajian rutin di kalangan kaum laki-laki dan di kalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya. 
Untuk hadits berupa sabda, adakalanya Nabi menyertakan perintah kepada sahabat tertentu untuk menulisnya. Sabda Nabi adakalanya dikemukakan di hadapan orang banyak dan ada pula yang dikemukakan di hadapan beberapa orang atau seseorang saja.
Hadits dalam bentuk taqrir terbatas penyampaiannya. Sebab kelahiran taqrir Nabi berkaitan erat dengan peristiwa tertentu yang dilakukan oleh sahabat Nabi.
Hadits dalam bentuk hal-ihwal Nabi bukan merupakan aktifitas Nabi. Karena itu, Nabi dalam menyampaikannya bersifat pasif, pihak yang aktif adalah sahabat Nabi.
Cara penyampaian hadits yang beragam membawa beberapa akibat diantaranya, hadits yang berkembang di masyarakat jumlahnya banyak dan pengetahuan para sahabat tentang hadits tidak sama, dalam artian ada sahabat yang mengetahui langsung terjadinya hadits dan ada yang sebaliknya. Jadi kalangan sahabat Nabi dalam periwayatan hadits ada yang berstatus sebagai saksi primer dan ada yang berstatus saksi sekunder.  

2. Metode-metode penyampaian hadits oleh para ulama
Adapun metode penyampaian atau penerimaan hadits yang biasa dipakai secara umum oleh ulama berbagai generasi adalah:
1. Al-sima’ 
Yaitu seseorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada dikitab tertentu di hadapan murid. Orang-orang mendengarkan kata-katanya. Cara ini bisa mengambil bentuk :
Membaca hafalan
Membaca dari kitab-kitab
Tanya jawab
Dikte atau imlaq
Metode al-sima’ dini dipandang paling bagus di antara metode yang paling ada menurut para ulama hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat alangkah baiknya kalau disamping mendengarkan juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits. 
2. Al-Qira’ah ‘ala al-syaikh atau al-‘Aradh 
Yaitu seorang murid membaca hadits yang boleh jadi diperoleh dari guru lain) di depan guru. Agaknya metode ini diilhami oleh sebuah peristiwa Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah Saw, “apakah Allah Swt memerintahkan agar engkau shalat beberapa kali?” Rasul menjawab, “Ya.” Kasus ini merupakan contoh al-qira’ah ‘ala al-syaikh , diketika itu syaikhnya Nabi sendiri. Banyak ulama yang mengatakan bahwa metode ini setingkat dengan metode pertama. Tetapi ada juga yang mengatakan metode ini lebih baik. Alasannya, dengan metode pertama al-sima’, bila guru salah membaca maka murid sebagai pendengar tidak dapat mengoreksi kesalahannya.
3. Al-ijazah 
Al-Ijazah adalah pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut satu demi satu. Metode ini menurut para mutaqaddimun tidak menyetujui metode ini kecuali bila guru dan murid mempunyai pengetahuan yang mendalam tetang hadits tersebut serta cermat dan dapat dipercaya. 
4. Al-munawalah
Seorang guru memberikan hadits atau beberapa hadits atau kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. 
Metode ini mirip dengan ijazah. Bedanya, dalam metode ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan, sedangkan dalam munawalah ungkapan eksplisit itu  tidak ada. 
                Ada dua bentuk dalam metode ini yakni sebagai berikut :
  Pertama, al-munawalah  dibarengi dengan ijazah, misalnya setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan atau naskahnya kitab yang telah dia riwayatkan atau  naskahnya yang telah dicocokkan atau beberapa hadits yang telah ditulis, lalu dia katakan kepada muridnya, “ ini riwayat saya, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian menyerahkannya, dan sang murid menerima . al-munawalah dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan naskah yang diperoleh dari gurunya, kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada muridnya untuk diriwayatkan darinya. Cara seperti ini, menurut Al-Qadhi Iyad, termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama hadits. Hadits berdasar atas munawalah bersama ijazah biasanya menggunakan redaksi (seseorang telah memberitahukan kepadaku atau kami). 

Kedua, al-munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada muridnya, “ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku”, dan tidak mengatakan “ riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu”. Menurut kebanyakan ulama dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. 

5. Al-mukatabah
Yaitu seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian haditsnya guna di berikan kepada murid yang ada di hadapannya atau yang dipercaya untuk menyampaikannya. 

Al-mukatabah ada dua macam yaitu:
Al-mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu suatu guru menuliskan beberapa hadits untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata 
“ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazah (izin)kan kepadamu untuk kamu riwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al-mukatabah yang dibarengi dengan ijazah yaitu dapat diterima.
Al-mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, yaitu guru menuliskan hadits untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa menuliskan hadits untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al-mukatabah bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama syafi’iyah dan ulama ushul menganggap sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan al-mawardi menganggap tidak sah. 
6. Al-I’lam
Yaitu pemberitahuan seorang guru kepada muridnya bahwa kitab atau hadits yang diriwayatkannya dia terima dari seorang (guru) dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan atau menyuruhnya. Ibnu al-shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadits dengan cara ini, karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul memperbolehkannya. 
7. Al-Wasiyah
Yaitu seorang guru ketika akan meninggal atau berpergian, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits ketika setelah guru meninggal atau berpergian. Periwayatan hadits dengan cara ini dianggap lemah oleh jumhur ulama, sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadits yang diriwayatkan dengan jalan wasiat ini.   
8. Al-Wijadah
Yaitu seorang memperoleh hadits orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadits dengan tidak melalui cara al-sama’, al-ijazah atau al-munawalah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara ini. Imam Syafi’i dan segolongan pengikutnya mengakui cara ini, sedangkan Ibnu Al-shalah mengatakan bahwa sebagian ulama muhaqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Kita telah membahas berbagai macam metode-metode penyampaian atau peralihan atau penyebaran hadits-hadits. Yang mana dapat dikatakan proses peralihan atau perpindahan serta suatu hadist dari sanad ke sanad sampai ke perawi dengan istilah lain al-riwayat.

Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud dengan al-riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadits, serta penyandaran hadits itu kepada rangkaian para periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadits dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadits itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut orang yang telah melakukan periwayatan hadits. Atau ketika dia menyampaikan hadits kepada orang lain tanpa menyebutkan sanad maka dia juga bukan orang yang melakukan periwayatan hadits. Jadi ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits, yakni:

Kegiatan menerima hadits dari periwayat hadits;
Kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain;
Ketika hadits itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya(sanad) disebutkan.
 Cara nabi menyampaikan hadistnya
1. Cara rasulullah menyampaikan haditsnya pada dasarnya dengan cara natural saja. Ada           masalah lalu dia memberikan penyelesaian.
2. Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan subuh.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Fayyad, Mahmud. 1998. Metodologi Penetapan Kesahihan Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ismail, Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadits. Bandung:CV Pustaka Setia.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Zuhri, Muh. 2011. Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodelogis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Post a Comment

 
Top