Untuk anda yang ingin mendownload filenya, berbentuk (.docx)
Silahkan klik link dibawah ini!.
Download Makalah Lain :
Analisis Terhadap Psikologi Agama
Pengaruh Psikologi Agama Terhadap Perilaku Peserta Didik
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Power Point
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu aliran dalam pendidikan adalah model
pendidikan pembebasan yang dicanangkan Paulo
Freire. Menurutnya pendidikan adalah praktik pembebasan, karena ia
membebaskan pendidik, bukan hanya terdidik saja dari perbudakan ganda berupa kebisuan
dan monolog.
Untuk itu, sekolah sebagai lembaga yang berperan
membentuk kepribadian anak harus ditempatkan sebagaimana mestinya. Sekolah
seharusnya menjadi tempat dimana anak-anak menemukan kegembiraan dan
kebahagiaan.
Dan tidak terjadi sebaliknya, di sekolah anak-anak muram,
kegelisahan, kehilangan kebahagiaan, dalam menghadapi guru dalam melihat
fenomena yang demikian inilah, Nampak pula penindasan, bahkan penindasan dalam
hal yang kelihatannya netral dalam pendidikan. Di sana peserta didik sudah
diperalat oleh kekuasaan tuannya untuk menggarap apa saja yang di kehendakinya.
Karena itu Paulo
Freire membuat reformulasi, bagaimanakah mencari model pendidikan yang
dapat membebaskan manusia dari penindasan yang tidak di sadarinya oleh karena
itu pendidik seharusnya membuat peserta didik sadar siapa dirinya dan bagaimana
hubungan dirinya dengan dunia luar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Pendidikan Pembebesan
Pembebasan berakar dari kata dasar bebas, yang
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna tidak terhalang,
terganggu, dan sebagainya sehingga bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya
dengan leluasa. Dari pengertian diatas, secara sederhana dapat dipahami bahwa
“bebas” merupakan situasi atau keadaan yang memungkinkan bergeraknya suatu hal
sesuai dengan yang dikehendaki tanpa adanya bayang-bayang pemaksaan dan
diktatorisasi dari pihak manapun.
Dalam terminologi Paulo Freire, pembebasan
bermuara pada realitas dikotomi peran guru dan peserta didik yang
dikonsepsikannya dengan istilah banking of Education.[1]
Perspektif
Paul FreireKebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada
kebebasan fisik yaitu secara fisik bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral
yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya
kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak,
sehingga kebebasan ini sering disebut sebagai kebebasan untuk memilih. Manusia
juga mempunyai kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan
ada dua kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya
kepada Tuhan dan kebebasan horizontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Sementara
pendidikan adalah media kultural untuk membentuk manusia. Kaitan antara
pemdidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata
Driyarkara, pendidikan adalah humanisasi, yaitu sebagai media dan proses
pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi.
Jalan
yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model
“kapitalisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk
insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.[2]
Pendidikan secara sederhana ialah proses memanusiakan
manusia melalui usaha sadar dan terencana. Sedangkan pembebasan ialah
terciptanya suatu situasi, ketika tidak ada ikatan-ikatan, tekanan, dan
intervensi yang menghalang-halangi dalam melakukan sesuatu sesuai kehendak diri
sendiri.
Jadi, Pendidikan pembebasan merupakan proses memanusiakan
manusia melalui sebuah kesadaran untuk melepaskan diri dari bentuk penindasan
yang hegemonik dan dominatif, yang keduanya menjadi penghambat bagi tegaknya
pilar-pilar pembebasan.[3]
B. Model-model
Pendidikan Pembebesan
1. Model Dialog (konsientasi)
Paulo Freire sangat menentang pendidikan “gaya bank” yang
mencerminkan masyarakat tertindas yang menunjukkan kontradiksi.Pendidikan gaya
bank tersebut antara lain:
a. Guru mengetahui segala sesuatu, peserta didik
tidak tahu apa-apa.
b. Guru berfikir, peserta didik difikirkan.
c. Guru bercerita, peserta didik mendengarkan.
d. Guru mengatur, peserta didik diatur.
e. Guru memilih dan memaksakan pilihannya,
peserta didik menyetujui.
f. Guru berbuat, peserta didik membayangkan
dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
g. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, peserta
didik menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
h. Guru mencampuradukan jabatan dan kewenangan
ilmu untuk menghalangi kebebasan peserta didik.
i. Guru adalah subyek, peserta didik adalah obyek
dalam proses belajar mengajar.[4]
j. Guru mengajar, murid belajar.[5]
Untuk menentang pendidikan model banking tersebut Paulo
Freire menawarkan pendidikan model dialog atau Konsientasi
(penyadaran) yaitu sebuah model belajar dengan cara memahami kontradiksi
sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan
unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut.
Menurutnya, pendidik hendaknya membimbing peserta didik
(yang punya ilmu yang diketahui oleh gurunya), supaya dia menjadi sadar tentang
masalah-masalah kontradiksi dalam dunianya dan mencari sendiri cara-cara
memecahkannya. Dengan begitu bukan hanya pendidik saja yang mempunyai kemampuan
untuk memecahkan relitas, tetapi peserta didikpun juga mampu untuk memecahkan
realitas sosial yang terjadi didalamnya.[6]
2. Model Kritik (masifikasi)
Pada model ini peserta didik dibimbing supaya mengetahui
struktur sosial, ekonomi, budaya, agama, dan politik dan tidak menerimanya
begitu saja, tetapi malah mempersoalkan hal-hal yang tidak adil. Pendidik dan
peserta didik mempersoalkan bersama hal-hal yang menyusahkan kehidupan rakyat.
Pendidikan
kritis intinya membantu terbentuknya sikap-sikap kritis, mengangkat kesadaran
naif masyarakat yang telah menenggelamkannya dalam proses sejarah dan
membuatnya mudah termakan irrasionalitas.
Dengan
menggunakan konsep pendidikan pembebasan versi Paulo Frierekita akan
melihat problema-problema pendidikan islam yang ada pada saat sekarang ini.[7]
C. Pendidikan
Islam Sebagai Praktik Pembebasan
Berdasarkan
cermin PauloFreire sebagaimana diuraikan diatas, penulis mencoba
menggali kembali hakekat Islam sebagai agama yang diturunkan Allahuntuk
manusia. Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh PauloFreire telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi
gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi
dipraktekkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi
dan ketidakadilan dalam segala aspeknya. Ali Engineer menuliskan bahwa
Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk pembebasan umat, tidak langsung
menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai
pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas
spiritual-material kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatanan yang
telah ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter.[8]
Pendidikan Islam sebagai praktek pembebasan mendasarkan
pada instrumen akal budi manusia sebagai paradigma pembebasan, dimana pendidkan
Islam diartikan sebagai proses penyadaran diri (konsientasi) realitas objektif
dan aktual, serta mengakui eksistensi manuasia sebagai individu yang bebas dan
memiliki jati diri. Dengan instrumen akal budi pula pendidikan dalam Islam dimaknai
sebagai proses rasioalisasi dan intelektualisasi. Ada tiga hal yang ingin
dibebaskan dalam pendidikan Islam yakni:
1. Bebas dari pola pikir dikotomis keilmuan atau
bahkan polarisasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Sejarah meenunjukkan bahwa
pola dikotomis keilmuan dalam Islam ini muncul sejak abad ke-12 yang diusung
oleh al-Ghazali, sebagai akibatnya umat Islam lebih suka mendalami ilmu-ilmu
keagamaan dengan supremasi fiqh tanpa diimbangi ilmu lain.
2. Bebas dari pemasungan kesadaran (internal dan
eksternal) yang menyebabkan melemahnya kondisi peserta didik. Hal ini
disebabkan adanya budaya kekerasan terhadap peserta didik yang lebih
mementingkan punishment (hukuman), daripada reward (hadiah).
3. Bebas dari praktik-praktik pendidikan yang
membelenggu kreatifitas dan kebebasan berfikir peserta didik. Akibat dari
pendidikan semacam ini timbul kultur bisu dan memudarnya kritisisme masyarakat
yang mengakibatkan menipisnya percaya diri, self-reliance dan self-esteem.
Akibat lainya adalah adanya kecenderungan pasif dalam dimensi politik dan
budaya.
Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagai praktik
pembebasan manusia dalam proses pendidikan harus dipahami dalam dua dimensi,
yaitu:
1. Pendidikan harus dipahami dalam posisinya
secara metodologis, dimana pelaksanaan pendidikan harus dilaksanakan secara
demokratis,terbuka, dan dialogis serta tidak bebas dari moral.
2. Pendidikan Islam sebagai proses pewarisan
nilai-nilai keislaman atau transfer of Islamic Values. Nilai-nilai
keislaman yang dimaksud disini adalah tauhid, yaitu tidak ada penghambaan
kepada yang selain Allah yang berarti bebas dari belenggu kebendaan dan
kerohanian. Dengan kata lain, seseorang yang telah mengikrarkan diri dengan
“dua kalimat Syahadat” berarti melepaskan dirinya dari belenggu dan subordinasi
apapun.
Tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah mengarahkan
peserta didik menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah. Adapun kebebasan
manusia disini dibatasi oleh hukum-hukum dan ajaran-ajaran yang ditentukan oleh
Allahyang sejalan dengan filsafat yang mendasari penciptaan manusia. Manusia
yang di idam-idamkan oleh Islam pada umumnya, dan pendidikan Islam pada
khususnya adalah manusia yang cerdas, mampu berfikir dan juga mampu menggunakan
akalnya dengan baik dan bertanggung jawab.[9]
BAB III
PENUTUP
Pendidikan pembebasan
merupakan proses memanusiakan manusia melalui sebuah kesadaran untuk melepaskan
diri dari bentuk penindasan yang hegemonik dan dominatif, yang keduanya menjadi
penghambat bagi tegaknya pilar-pilar pembebasan.
Pendidikan islam sebagai
praktek pembebasan mendasarkan pada instrumen akal budi manusia sebagai para
digma pembebasan, dimana pendidkan islam diartikan sebagai proses penyadaran
diri (konsientasi) realitas objektif dan aktual, serta mengakui eksistensi
manuasia sebagai individu yang bebas dan memiliki jati diri.
Manusia tidak bisa
diperbudak dan dipasung kebebasannya, sehingga tidak boleh menurut dan terikat
pada ikatan yang membelenggu kebebasannya. Pendidikan Islam dapat mewujud
menjadi pendidikan pembebasan apabila proses pelaksanaan pendidikan Islam dapat
dilaksanakan secara demokratis, dialogis dan terbuka serta berupaya menanamkan
nilai-nilai tauhid, sehingga pada akhirnya peserta didik menjadi manusia yang
bertaqwa.
DAFTAR PUSTAKA
Engineer,Asghar Ali. 1999. Islam
danTeologiPembebasan.Yoyakarta
:PustakaPelajar.
Freire, Paulo.
2000. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khobir, Abdul. 2011. Filsafat Pendidikan Islam LandasanTeoritis
dan Praktis. Pekalongan: STAIN Press Pekalongan.
Langgulung,Hasan. 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam
. Bandung : Al-Maarif.
Umiarso & Zamroni. 2011. Pendidikan Pembebasan dalam Persepektif
Barat & Timur. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Tentang Paulo Friere
Freire
dilahirkan dalam keluarga kelas menengah di Recife, Brasil. Namun ia mengalami langsung kemiskinan dan
kelaparan pada masa Depresi Besar 1929, suatu pengalaman yang membentuk keprihatinannya
terhadap kaum miskin dan ikut membangun pandangan dunia pendidikannya yang khas.
Freire
mulai belajar di Universitas Recife pada 1943, sebagai seorang mahasiswa hukum, tetapi
ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa. Meskipun ia lulus sebagai
ahli hukum, ia tidak pernah benar-benar berpraktik dalam bidang tersebut.
Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah menengah,
mengajar bahasa Portugis. Pada 1944 ia menikah dengan Elza Maia Costa de Oliveira, seorang rekan gurunya. Mereka berdua bekerja
bersama selama hidupnya sementara istrinya juga membesarkan kelima anak mereka.
Pada
1946, Freire diangkat menjadi Direktur Departemen Pendidikand an Kebudayaan
dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife). Selama bekerja
itu, terutama ketika bekerja di antara orang-orang miskin yang buta huruf,
Freire mulai merangkul bentuk pengajaran yang non-ortodoks yang belakangan
dianggap sebagai teologi pembebasan (Dalam kasus Freire, ini merupakan campuran
Marxisme dengan agama Kristen). Perlu dicatat bahwa di Brasil pada saat itu, melek huruf merupakan syarat untuk ikut memilih dalam pemilu.
Pada
1961, ia diangkat sebagai direktur dari departemen Perluasan Budaya dari
Universitas Recife, dan pada 1962 ia mendapatkan kesempatan pertama untuk
menerapkan secara luas teori-teorinya, ketika 300 orang buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45
hari. Sebagai tanggapan terhadap eksperimen ini, pemerintah Brasil menyetujui
dibentuknya ribuat lingkaran budaya di seluruh negeri.
Pada
1964, sebuah kudeta militer mengakhiri upaya itu, dan menyebabkan Freire
dipenjarakan selama 70 hari atas tuduhan menjadi pengkhianat. Setelah
mengasingkan diri untuk waktu singkat di Bolivia, Freire bekerja di Chili selama lima tahun untuk Gerakan Pembaruan Agraria Demokratis Kristen. Pada 1967, Freire menerbitkan bukunya yang pertama,
Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan.
Buku
ini disambut dengan baik, dan Freire ditawari jabatan sebagai profesor tamu di Harvard pada 1969. Tahun sebelumnya, ia menulis bukunya
yang paling terkenal, Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), yang diterbitkan
dalam bahasa Spanyol dan Inggris pada 1970. Buku itu baru diterbitkan di Brasil
pada 1974 (karena perseteruan politik antara serangkaian pemerintahan diktatur militer yang otoriter dengan Freire yang Kristen sosialis ketika Jenderal Ernesto Geisel mengambil alih kekuasaan di Brasil dan memulai
proses liberalisasi.
Setelah
setahun di Cambridge, Freire pindah ke Jenewa, Swiss untuk bekerja sebagai penasihat pendidikan khusus
di Dewan Gereja-gereja se-Dunia. Pada masa itu Freire bertindak sebagai penasihat
untuk pembaruan pendidikan di bekas koloni-koloni Portugis di Afrika,
khususnya Guinea Bissau dan Mozambik.
Pada
1979, ia dapat kembali ke Brasil, dan pindah kembali ke sana pada 1980. Freire
bergabung dengan Partai Buruh (Brasil (PT) di kota São Paulo, dan bertindak sebagai penyelia untuk proyek melek
huruf dewasa dari 1980 hingga 1986. Ketika PT menang dalam pemilu-pemilu
munisipal pada 1986, Freire diangkat menjadi Sekretaris Pendidikan untuk São
Paulo.
Pada
1986, istrinya Elza meninggal dunia, dan Freire menikahi Maria Araújo Freire,
yang melanjutkan dengan pekerjaan pendidikannya sendiri yang radikal. Pada
1991, didirikanlah Institut Paulo Freire di São Paulo untuk memperluas dan
menguraikan teori-teorinya tentang pendidikan rakyat. Institut ini menyimpan semua arsip Freire. Freire
meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997. Beberapa penghargaan
yang diperoleh oleh Friere adalah ; Penghargaan Raja Baudouin (Belgia) untuk
Pembangunan Internasional Penghargaan bagi Pendidik Kristen Terkemuka
bersama istrinya, Elza Penghargaan UNESCO 1986 untuk Pendidikan untuk
Perdamaian
Paulo
Freire menyumbangkan filsafat pendidikan yang datang bukan hanya dari
pendekatan yang klasik dari Plato, tetapi juga dari para pemikir Marxis dan anti kolonialis. Malah, dalam banyak cara ,
bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dapat dibaca sebagai perluasan dari
atau jawaban terhadap buku Frantz Fanon, The Wretched
of the Earth,
yang memberikan penekanan yang kuat tentang perlunya memberikan penduduk
pribumi pendidikan yang baru dan modern (jadi bukan yang tradisional) dan anti
kolonial (artinya, bukan semata-mata perluasan budaya para kolonis).
B. Makna Pembebasan dalam Perspektif Paulo Friere
Kebebasan
secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik yaitu secara fisik
bebas bergerak ke mana saja. Kebebasan moral yaitu kebebasan dari paksaan
moral, hukum dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara).
Kebebasan psikologis yaitu memilih berniat atau tidak, sehingga kebebasan ini
sering disebut sebagai kebebasan unutuk memilih. Manusia juga mempunyai
kebebasan berpikir, berkreasi dan berinovasi. Kalau disimpulkan ada dua
kebebasan yang dimiliki manusia yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada
Tuhan dan kebebasan horisontal yang arahnya kepada sesama makhluk.
Sementara
pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara
pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata
Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses
pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”).
Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh
ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena,
pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan
berkepribadian kemanusiaan.
Pandangan
klasik tentang pendidikan pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat
dijalankan pada tiga fungsi sekaligus ; Pertama, menyiapkan generasi
muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa depan. Kedua,
mentranfer atau memindahkan pengetahuan, sesuai dengan peranan yang
diharapkan, dan Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara
keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive)
masyarakat dan peradaban.[10][5]
Dalam
perkembangan berikutnya, ekstensifikasi pengertian pendidikan tersebut,
sejalan dengan tuntutan masyarakat atau “pasar”. Dari sini lalu pendidikan
memainkan fungsi sebagai suplementer, melestarikan tata social dan tata
nilai yang ada dimasyarakat dan sekaligus sebagai agen pembaharuan.[11][6] Proses ini, kemudian menimbulkan persoalan dalam
pendidikan, yaitu ketika terjadinya hubungan timbal-balik antara kepentingan
pendidikan disatu sisi dan kepentingan kebutuhan masyarakat disisi lainnya.
Kepentingan pendidikan seringkali menjadi terabaikan oleh tuntutan masyarakat.
Artinya, fungsi konservasi budaya lebih menonjol dari pada upaya antisipasi
masa depan secara akurat dan memadai. Maka, muncullah berbagai kritik
terhadap system pendidikan. Kritik ini muncul karena melihat pendidikan telah
mengalami stagnasi, yang kemudian melahirkan berbagai aliran dalam
pendidikan.
Salah
satu kritik cukup tajam menganai pendidikan ini datang dari Paulo Friere.
Menurut Freire, kala itu pendidikan di Brazil (dan mungkin masih terjadi sampai
kini di banyak negeri, termasuk Indonesia) telah menjadi alat penindasan dari
kekuasaan untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan
ketidaksadarannya bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya
Bank", dimana murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung,
atau memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah
melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid.[12][7] Lebih lanjut dikatakan, "konsep pendidikan
gaya bank juga memeliharanya (kontradiksi tersebut) dan mempertajamnya,
sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya
kesadaran kritis pada murid". Murid hanya mendengarkan, mencatat,
menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa
menyadari dan memahami arti dan makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut
Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence).[13][8]
Keprihatinan
Friere terhadap kaum tertindas (oppressed) telah mendorong dirinya untuk
mengantisipasi persoalan tersebut demi masa depan kemanusian. Menurutnya, kaum
tertindas yang menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri
dengan jalan fikiran mereka, akan membawa rasa takut yang berat. Padahal
kebebasan menghendaki mereka, untuk menolak citra diri tersebut harus
menggatinya dengan perasaan bebas serta tanggungjawab. Kebebasan hanya bias
“direbut” bukan “dihadiahkan” kata Friere.[14][9]
Di
dalam bukunya yang lain, Friere menulis dengan mengutip pendapat Erich Fromm
sebagai argumentasi terhadap situasi yang mengungkung manusia modern ;
“(manusia)
menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya
bertindak dan berfikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak
bebas, jika ia tahu tentang masalahnya. Yang menjadi persoalan adalah ketika
mereka tidak tahu. Karena ia tidak tahu, maka ia akan menyesuaikan diri dengan
penguasa yang tidak dikenalnya dan ia akan meng-ia-kan hal-hal yang
tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, maka ia semakin tidak
berdaya untuk merasa dan ia semakin ditekan untuk menurut.[15][10]
Manusia
modern, kata Friere, telah dikuasai oleh kekuatan mitos-mitos dan telah
dimanipulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye ideology, dan lainnya tanpa
disadari oleh manusia modern, yang pada gilirannya akan menghilankan kemampuan
untuk memilih dan mengambil keputusan secara bebas. Manusia modern, kemudian
tidak terbiasa untuk menangkap sendiri tugas-tugas zaman, melainkan hanya
menerima apa adanya dari hasil penafsiran penguasa atau kaum “elit”.
Jika
kita mau memandang perjalanan peradaban manusia sendiri, yaitu ketika gerakan renaissance
itu muncul, berangkat dari tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai
ikatan dan halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud dan
teraktualisasi. Sedangkan pada masa gerakan Aufklaerung, yang menjadi
“cita-cita”-nya adalah moral rasionalisme, yaitu keberanian untuk memakai
kemampuan akal budi secara bebas.[16][11] Atau jika kita mengikuti pendapat Soedjatmoko
bahwa yang kita butuhkan adalah pembebasan dari rasa tidak berdaya dan dari ketergantungan
“dari rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah
tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak oleh wewenang yang lebih tinggi
atau oleh adat kebiasaan…”.[17][12]
Melalui
pembacaannya terhadap gagasan Antonio Gramsci yang pernah menyatakan bahwa
kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis dengan menggunakan
teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan kritis terhadap “realitas
akal sehat”, maka Paulo Freire merefleksikan gagasan tersebut dengan memformulasikannya
dalam sebuah model “penyadaran (conscientizacao)”.[18][13]
Dampak
riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang ingin memperhadapkan
pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang
nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari
keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.
“Pendidikan
kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan
suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi
oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis;
individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang
lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman,
agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai
hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga,
pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan
pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.
Lebih
lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan
wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum,
galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak
hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang
menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu.
Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan
dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka
harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk
melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap
berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Upaya
menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis
menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran
Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk
melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah
mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum
borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti
berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh
kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih
dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur
sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas
masyarakat keseluruhan.
Pendidikan
pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan
mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di
sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan.
Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan
sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan
melalui transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu
pengetahuan yang “didepositokan” dalam buku-buku teks sehingga apa yang
dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan
realitas kontekstual.
Kebebasan
tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki batasan-batasan tersendiri, tergantung
persoalan yang dihadapi oleh “kaum tertindas” tersebut. Karena jika kebebasan
tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu, justru akan berbenturan dengan
hak-hak orang lain, yang pada ahirnya akan menimbulkan anarkhisme.
Oleh
sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire.
Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak
mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire
ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta
huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka
kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai
suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan
rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk
meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan
yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged
society) kepada masyarakat terbuka (open society).
C. Menggugat Pendidikan Gaya Bank
Freire
mengurai secara ganblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem
pendidikan yang “menindas” dan kontra-pembebasan. Dalam bukunya, Pendidikan
Kaum Tertindas, Freire menegaskan bahwa pola pendidikan yang selama ini terjadi
bahwa hubungan antara guru dan murid dengan menggunakan model “watak bercerita”
(narrative): seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh
dan mendengarkan (murid-murid).[19][14] Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan
menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak,
statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru Cuma
“mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas
dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita
mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan
kepadanya. Pendidikan menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah
celengannya dan para guru adalah penabungnya.
Konsep
pendidikan itu disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gara bank”. Akhirnya,
muridhanyaberaktivitasseputarmenerimapengetahuan, mencatat, dan menghafal.
Dalam model pendidikaninisecarajelaskita bisa melihatbahwapendidikanadalahalatkekuasaan
guru yang dominatif dan “angkuh”. Tidak
ada proses komunikasi timbal-balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling
mengkritisi. Guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang. Freire
kembali menegaskan bahwa dengan demikian pengetahuan seolah-olah adalah
“anugerah” yang dihibahkan oleh mereka yang mengangap dirinya berpengetahuan
kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, alias bodoh. Di
sinilah terselip ideologi penindasan.
Raison
d’etre pendidikan yang membebaskan, sebagai kebalikan dari model pendidikan
“gaya bank” adalah usaha ke arah rekonsiliasi, untuk memecahkan kontradiksi
antara guru dan murid. Dalam tulisan yang lain, Freire memberikan jalan keluar
atas kondisi pendidikan yang menindas seperti itu dengan menggagas pendikan
yang berorientasi kemanusiaan. Satu-satunya alat efektif dalam pendidikan
pemanusiaan adalah “hubungan timbal-balik” permenen berbentuk dialog antara
para pemimpin revolusioner (guru) dan kaum tertindas (siswa). Hal ini tentunya
dengan membongkar bangunan awal struktur pendidikan, di mana guru sebagai
kelompok “penindas” menuju “revolusioner”.
Dialog
yang terbangun ini kemudian disusul dengan mempraktekan pendidikan
“ko-eksistensial”, yaitu para guru dan para murid sama-sama bertindak terhadap
kenyataan, sama-sama menjadi subyek-Subyek, bukan hanya dalam tugas menyikap
kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas
menciptakan kembali pengetahuan tadi. Ini amat berat memang.[20][15] Tapi, yang jelas, dengan mendialogkan antara
penegtahuan dan realitas maka akan tercipta pengetahuan baru yang merefleksikan
kembali cita-cita revolusioner.
Kembali
pada konsep pendidikan revolusioner. Untuk menciptakan makna baru bagi
pengetahuan yang membebaskan, kita bisa memakai pendekatan “humanisme
dialektis”-nya Karl Marx tentang perkembangan pribadi lewat interaksi dialektis
antara individu dengan lingkungannya. Di sini pendidikan dinilai sebagai cara
penyelesaian pertentangan-pertentangan mendasar antara kebutuhan-kebutuhan
aktualisasi diri para pelajar, dan juga pantulan pertentangan antara murid
dengan guru.[21][16] Untuk melenturkan pertentangan antara individu dan
komunitas --seperti telah sebagian dikemukakan di muka-- maka perlu perantaraan
atau mediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal serta informal. Salah
satunya adalah sekolah. Walaupun di dalamnya juga memuat pertentangan antara
murid dengan sekolah, tidak lagi antara guru dan murid. Intinya, sekolah
menjadi harapan untuk menciptakan murid yang berpengetahuan yang berorientasi
kemanusiaan.
D. Pendidikan
Islam Sebagai Proses Pembebasan
Berdasarkan
cermin Freire sebagaimana diuraikan diatas, penulis mencoba menggali kembali
hakekat Islam sebagai agama yang diturunkan Allah untuk manusia. Pendidikan
pembebasan yang digelindingkan oleh Freire telah diterapkan oleh Nabi Muhammad
dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah
pada masa Nabi dipraktekkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi,
penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya. Ali
Engineer menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk
pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang
normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara
serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan
penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi tatanan yang tidak
eksploitatif, adil dan egaliter.[22][17]
Islam
sendiri adalah agama pembebasan karena "Islam memberikan penghargaan
terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi dan keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi
yang lemah dan tertindas". Ayat-ayat Al Qur'an misalnya, diantaranya
"...Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di
bumi. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi..." (QS.
28:5), hal ini semakin menegaskan bahwa asal usul diturunkannya Islam (dan juga
rasul-rasul) adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu ketertindasan dan
ketidaksadaran.[23][18]
Nabi
Muhammad dalam perjalanan sejarahya, telah mekalukan sebuah gerakan pembebasan
yang cukup revolusioner.[24][19] Nabi Muhammad bukan saja melakukan pembebabasan
terhadap kaum perempuan yang selama berabad-abad telah tertidas oleh budaya
Arab yang memarginalkan peran perempuan dalam berbagai sector publik,
tetapi juga mewajibkan (faridhat) kepada setiap Muslim untuk menuntut
ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan inilah, umat Islam diharapkan
mempunyai “kesadaran terhadap realitas”. Dalam pandangan Asghar Ali Engineer,
ilmu pengetahuan ini dapat dihubungkan dengan nur (cahaya), artinya
dengan ilmu pengetahuan manusia mampu terbebas dari kegelapan menuju cahaya
keselamatan.[25][20]
Sementara
itu, di dalam Al Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam
berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum)
terulang sebanyak 99 kali,[26][21] Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam
terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990),
diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan
keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari
bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti. Maknanya, seseorang dianggap
mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat pendengaran,
penglihatan dan hatinya.
Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional
ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna
ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang
realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam
menggapai kebenaran (QS. 17 : 36). "Pengetahuan (‘ilm) boleh
merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat
"suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau
boleh merupakan oppersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu".[27][22] "Ilmu itu harus
dinilai dengan konkrit. Hanya kekuatan intelektual yang
menguasai yang konkritlah yang kana memberi kemungkinan kecerdasan manusia itu
melampaui yang konkrit".[28][23]
Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal tentang
ilmu, dapat ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan
hadir secara utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa
berbeda atas suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek
terhadap subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh
Iqbal dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus
bisa terukur kebenarannya.[29][24]
Oleh karena, ilmu dalam Islam adalah sebagai kesadaran
tentang realitas, maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir
adalah alam semesta (mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia
mulai mendengar, melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa
suara, bentuk dan perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal untuk
mengenal realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami kedewasaan
dan sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang metarealitas, yakni
suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk mengurus proses-proses
penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Atau dari mati
menjadi hidup, kemudian dari hidup menjadi mati (QS.2: 28).[30][25]
Kesadaran
inilah yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan di alam
semesta. Sebuah kesadaran yang akan menghantarkan manusia pada posisinya
sebagai abd (hamba) sekaligus sebagai khalifah (wakil Tuhan) di
alam semesta ini.[31][26]
[1]Umiarso & Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Persepektif Barat
& Timur, Cet ke-1 ( Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), hlm.52-53.
[4]Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam LandasanTeoritis dan Praktis,
Cet ke-3 (Pekalongan: STAIN Press Pekalongan, 2011), hlm. 140
[5]Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,
Cet Ke-2 ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1.
[8]Asghar
Ali Engineer, Islam danTeologiPembebasan, (Yoyakarta :PustakaPelajar,
1999), hlm. 34 – 35.
Post a Comment