Untuk anda yang ingin mendownload filenya, berbentuk (.docx)
Silahkan klik link dibawah ini!.
BAB I
PENDAHULUAN
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi ALLAH SWT, sholawat serta salam semoga terlimpahan Nabi
besar Muhammad SAW beserta keluarga, shabat dan sekalian umat yang bertaqwa.
Atas berkat rahmat dan hidayah allah swt,penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul”Analisa Perbandingan Antar Aliran : Akal dan Wahyu,
Iman dan Kufur” ini dengan lancar tanpa halangan suatu apapun.
Selain itu dalam proses penulisan makalah ini penulis merasa berhutang budi
kepada berbagi pihak terutama kepada dosen pembimbing Bapak. Miftahul huda,
M.Pd. yang telah memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh sabar dan tulus
ikhlas.
Atas segala bantuan tersebut, penilis tidak dapat membalas berupa apapun
kecuali mengucapkan terima kasih seraya mengharapkan limpahan rahmat dari Allah
SWT, sehingga segala kebaikan itu mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Akhirya penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini tentu di sana sini
masih terdapat kelemahan ataupun kekurangan,maka penilis mengharapkan kritik
dan saran yang konstruktif dari pihak manapun demi kebaikan selanjutnya,semoga
makalah ini dapat bermanfa’at bagi kita semua amin.
Penyusun
10 November 2012
A. Latar Belakang
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal keTuhanan dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap Tuhan,memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan
tentang kedua soal tersebut.Akal, sebagai daya berfikir yang ada dalam diri
manusia,berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan,dan wahyu sebagai
pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan
keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
Tuhan.
Agenda persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi islam adalah maslah
iman dan kufur.Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh kaum khawarij
tatkala mencap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi SAW.Perbincangan konsep iman dan kufur menurut tiap-tiap aliran islam,
seperti yang terlihat dari berbagai literatur ilmu kalam,sering kali lebih
dititik beratkan pada satu aspek saja dari dua tern,yaitu iman atau kufur.Ini
dapat dipahami sebab kesimpulan tentang konsep iman bila dilihat kebalikannya
juga berarti kesimpulan tentang konsep kufur.
B. Rumusan masalah
1.
Pengertian Akal dan Wahyu
2.
Analisa Perbandingan Antar Aliran Tentang Akal dan Wahyu
3.
Fungsi Akal dan Wahyu
4.
Pengertian Iman dan Kufur
5.
Analisa Perbandingan Antar Aliran tentang Iman dan Kufur
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal dan Wahyu
1.Akal
kata akal berasal dari bahasa Arab yaitu al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda, kata ini tidak terdapat dalam al-Qur’an. Didalam Al-Qur’an hanya ada bentuk kata kerjanya yaitu ‘aqaluuh (عـقـلوه) seperti kata ta’qiluun تعـقـلون) ), na’qil نعـقـل)) ya’qiluha (يعـقـلها) dan kata ya’qiluun يعـقـلون)), kata-kata itu bisa diartikan faham dan mengerti.
kata akal berasal dari bahasa Arab yaitu al-‘Aql (العـقـل), yang dalam bentuk kata benda, kata ini tidak terdapat dalam al-Qur’an. Didalam Al-Qur’an hanya ada bentuk kata kerjanya yaitu ‘aqaluuh (عـقـلوه) seperti kata ta’qiluun تعـقـلون) ), na’qil نعـقـل)) ya’qiluha (يعـقـلها) dan kata ya’qiluun يعـقـلون)), kata-kata itu bisa diartikan faham dan mengerti.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman
jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang
dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah
(problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang
yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala
mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Dalam al-Qur’an dijelaskan
dalam surat al-Hajj ayat 46 yang
dikatakan bahwa pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui qalbu yang berpusat di dada.
Memang banyak sekali pendapat-pendapat yang menguraikan tentang pengertian
akal. Tapi dalam pandangan Islam, akal tidaklah otak, tetapi daya pikir yang
terdapat dalam jiwa manusia, daya yang sebagai digambarkan dalam al-Qur’an,
memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam
pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa
pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan.
b. Wahyu
Secara etimologi wahyu berarti isyarat, bisikan, ilham, perintah. Sedangkan menurut terminologi berarti nama bagi sesuatu yang
disampaikan secara cepat dari Allah kepada Nabi-Nabi_Nya.
Dalam pengertian lain,
wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab yang berarti suara, dan
kecepatan. Di samping itu juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab.
Selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi-sembunyi dan dengan
cepat. Tentang penjelasan cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi.
B. Analisa perbandingan antar aliran tentang
akal dan wahyu
1. Aliran Mu’tazilah
bagi kaum mu’tazilah,
segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan
demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunya wahyu adalah wajib. Baik
dan jahat dapat diketahui oleh akal, demikian pula kewjiban mengerjakan yang
baik dan menjahui yang jahat, dapat diketahui oleh akal.
Dalam kaitan ini Abu
Al-huazail menyatakan bahwa sebelum datangnya wahyu, seorang mukalaf wajib
mengetahui adanya Tuhan tanpa keraguan sedikit pun. Jika ia tidak berterima
kasih kepada Tuhan, maka akan mendapatkan hukuman. Ia juga wajib mengetahui
perbuatan yang baik dan buruk dannoleh karenanya, ia berkewajiban mengerjakan
yang baik seperti jujur dan adil serta menjauhi perbuatan yang buruk seperti berdusta
dan dholim.
2. Aliran Asy’ariyah
asy’ariyah berpendapat
bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga hal lainnya, yakni
kewajinban berterima kasih kepada Tuhan, baik dan buruk serta kewajiban
melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan
wahyu.
Bagi Al-Asy’ari, manusia
tidak dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, manusia tidak dapat
mengetahui apa saja yang menjadi kewjiban-kewjibannya. Semua kewajiaban hanya
dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib
dan tidak bisa menetapkan bahwa sesuatu itu baik atau buruk, juga tidak dapat
menetapkan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib
bagi manusia. Demikian juga dengan kewajiban mengetahui Tuhan, hanya dapat
diketahui lewat wahyu.[1]
3. Aliran Maturidiyah Samarkhan dan Bukhara
Ø Menurut Maturidi Samarkhan
Akal dapat mengetahui adanya tuhan, kewajiban mengetahui tuhan,dan
mengetahui baik dan jahat. Adapun kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan
meninggalkan yang jahat akal tidak mampu mengetahui nya. Hal ini hanya dapat
diketahui oleh wahyu.
Ø Menurut maturidiyah bukhara
Akal manusia hanya mampu untuk mengetahui
tuhan dan mengetahui baik dan jahat. Adapun kewajiban mengetahui tuhan dan
kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang jahat akal manusia tidak
mampu mengetahuinya dan hal ini hanya dapat diketahui dengan wahyu.[2]
C.Fungsi Akal dan Wahyu
Mengenai fungsi ini dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah dan fungsi terkecil dalam faham mu’tazilah. Bertambah besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam suatu aliran, bertambah kecil daya akal dalam aliran itu. Sebaliknya bertambah sedikit fungsi wahyu dalam suatu aliran, bertambah besar daya akal pada aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia. Wahyu sebaliknya, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu diturunkan Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.
Mengenai fungsi ini dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah dan fungsi terkecil dalam faham mu’tazilah. Bertambah besar fungsi diberikan kepada wahyu dalam suatu aliran, bertambah kecil daya akal dalam aliran itu. Sebaliknya bertambah sedikit fungsi wahyu dalam suatu aliran, bertambah besar daya akal pada aliran itu. Akal, dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri dan dengan demikian menggambarkan kemerdekaan dan kekuasaan manusia. Wahyu sebaliknya, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu diturunkan Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.
D. pengertian Iman dan Kufur
1. Iman
Iman dari segi bahasa
berarti : pembenaran, sedangkan makna iman dari segi istilah ialah pembenaran
atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang di
bawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diketahui dengan jelas sebnagai ajaran agama
yang berasal dari wahyu Allah.
2.Kufur
Kufur adalah kebalikan daripada iman. Dari segi lughat “kufur” artinya menutupi. Orang yang bersikap ‘kufur’ disebut kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari hidayah Allah.
Kufur adalah kebalikan daripada iman. Dari segi lughat “kufur” artinya menutupi. Orang yang bersikap ‘kufur’ disebut kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari hidayah Allah.
E. Analisa perbandingan antar aliran tentang
iman dan kufur
1. Aliran Khawarij
Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teoligis
khawarij terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih
bertendensi polotik ketimbang ilmiah teoritis. Kebenaran pernyataan ini tidak
dapat disangka karena seperti yang telah diungkapkan sejarah, khawarij
mula-mula memunculkan persoalan teologis seputar masalah, “apakah Ali dan
pendukungnya adalah kafir attau mukmin ? “, “apakah muawiyah dan pendukungnya
telah kafir atau mukmin ? “. Jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadai
pijakan atas dasar dari teologi mereka. Menurut mereka karena Ali dan Muawiyah,
beserta para pendukungnya telah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka
telah berbuat dosa besar. Dan semua pelaku dosa besar (mutab al kabirah),
menurut semua subsekte khawarij, kecuali najda adalah kafir dan akan disiksa
dineraka selamanya.
Iman dalam pandangan khawarij, tidak semata percaya kepada Allah.
Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari
keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk didalamnya masalah
kekuasaan adalah bagian dari keimanan (al amal juz;un al iman). Dangan
demikian siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa
Muhammad adalah RasulNya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agam dan malah
melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh khawarij.[3]
2. Aliran Murjiah
Berdasarkan pandangan murjiah tentang iman untuk memilih subsekte yang
ekstrim atau moderat harun nasution menyebutkan bahwa subsakte murjiah yang
ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak didalam qolbu.
Adapun ucapan dan perbuatan tidak selanya menggambarkan apa yang ada
didalam qolbu . oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang
yang menyimpan dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak
keimanannya, .bahkan keimanannyan masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Sementara yang dimaksud murjiah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa
pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir, meskipun disiksa dineraka, ia tidak
kekal didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya. Denagan demikian,
masih terbuka kemungkinan bahwa tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas
dari siksaan neraka. Ciri khas mereka lainnya ialah dimasukannya iqrar sebagai
bagian penting dari iman.
Pertimbangannya, pendapat menurur Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan
konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murjiah moderat lainnya.Ia berpendapat bahwa seorang pelaku dosa besar
masih tetap mukmin,tetapi bukan berarti bahwa dosa yang di perbuatnya tidak
berimplikasi.Andaikata masuk neraka karna Allah menghendakinya,ia tak akan
kekal didalamnya.Ditambahnya pula bahwa iman tidak bertambah tidak kurang.
3. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa
besar,apakah telah mukmin atau kafir.Menurut Mu’tazilah setiap pelaku dosa
besar menempati posisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir.Jika
meniggal dinia sebelum tobat ia akan dimasukkan dalam neraka
selama-lamanya.Namun ,siksaan yang dapat diterimanya lebih ringan daripada
siksaan orang kafir.
Seluruh pemikir Mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah
satu unsur terpenting dalam konsep Iman. Bahkan hampir mengidentikannya dengan
Iman. Ini mudah dimengerti kerena konsep mereka tentang amal sebagai bagian
penting keimanan memiliki keterkaitan lagsung dengan masalah al-wa’d wa al
wa’id (janji dan ancaman) yang merupakan salah satu dari “Pancasila”
Mu’tazilah.
Aspek penting lainnya dalam konsep Mu’tazilah tentang Iman adalah apa yang
mereka identifikasikan sebagai ma’rifah(pengetahuan dan akal). Ma’rifah
menjadi unsur yang tak kalah penting dari Iman karena pandangan Mu’tazilah
yang bercorak rasional.
Masalah fluktuasi iman, yang merupakan persoalan teologi yang diwariskan
aliran Murji’ah, disinggung pula oleh Mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa
manakala seseorang meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya, imannya
semakin bertambah. Setiap kali ia berbuat maksiat, imannya semakin berkurang.
Kenyataan ini dapat dipahami mengingat Mu’tazilah, seperti halnya Khawarij,
mamasukan unsur amal sebagai unsur penting dari iman(al-amal juz’un min
al-iman).
4. Aliran Asy’ariyah
untuk memahami makna iman yang
diberikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari masih sukar dipahami. Sebab, didalam
karya-karyanya seperti Maqala Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinisikan aman secara berbeda-beda
dalam maqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa, iamn adalah qawl
dan amal dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-Luma, iman
diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya, bahwa kata mukmin
seperti ddisebutkan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 7 memiliki hubungan
makna dengan kata sadiqin dalam
ayat itu juga. Dengan demikian, menurut Al-Asy’ari, iman adalah tashdiq bi
al-qalb(membenarkan dengan hati).
Diantara definisi iman yang diinginkan al-asy’ari dijelaskan oleh asy-syahratani
salah seorang teolog asya’irah. Asy-syahratani menulis: “Al asy’ari
brkata,”...iman (secara esensial) adalah tasydiq bi aljanan (membenarkan dengan
hati). Sedangkan ‘mengatakan’ (qawl) dengan lisan dengan melakukan berbagai
kewajiban utama (amal bi al-arkan) hanyalah merupakan furu(cabang-cabang)iman.
Oleh sebab itu, siapapun yang membenarkan ke Esaan Tuhan dengan kalbunya dan
juga membenarkan utusan-utusanNya beserta apa yang mereka bawa darinya,iman
orang semacam itu merupakan iman yang shahih... dan keimanan seorang tidakakan
hilang kecuali jika ia mengingkari dari hal-hal tersebut.[4]
5. Aliran Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran maturidiyah samarkhan berpendapat bahwa iman
adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bil al-lisan. Pengertian
ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah
satu subsekte Murji’ah. Ia beragumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Hujurat
14.
Ayat tersaebut dipahami Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan
itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa dipahami pula oleh qolbu.
Apa byang oleh diucapkan lidah dalam bentuk pernyataan iman, manjadi batal bila
hati tidak mengikuti ucapan lidah.
Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti
dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tasdiq bil al-qalb dan tasdiq bil
al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tasdiq bil al-qalb adalah
menyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan Rasul-rasul yang
diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud tasdiq
al-lisan adalah mengakui kebanaran seluruh pokok ajaran secara verbal.[5]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan pendapat diantara aliran-aliran teoogi islam mengenai
iman dan kufur. Perbedaan itu sedikit banyak dipengaruhi oleh teori kekuatan
akal dan fungsi wahyu. Mu’tazilah dan maturidiyah samarkhan berpendapat bahwa
akal mencapai kewajiban mengetahui tuhan (KMT), iman melibatkan ma’rifah
didalamnya. Menurut murji’ah meskipun mereka menyebut ma’rifah, yang
dimaksudnya bukanlah ma’rifah bi al-qalb.
Sebaliknya aliran-aliran yang tidak berpendapat bahwa akal dapat mencapai
kewajiban mengetahui tuhan, iman dalam konsep mereka tidak melibatkan ma’rifah
didalamnya. Hal ini kita temukan dalam aliran asy’ari dan maturidiyah bukhara.
Aliran-aliran yang mengintegrasikan amal sebagai salah satu unsur keimanan
yakni mu’tazilah dan khawarij memandang bahwa iman dapat bertambah atau
berkurang. Sementara aliran-aliran yang tidah memasukkan amal sebagai unsur
dari iman seperti murji’ah,asy’ariyah, maturidiyah samarkhan dan maturidiyah
bukhara berpendapat bahwa iman tidak bisa bertambah atau berkurang. Kalaupun iman
dapat dikatakan bertambah atau berkurang hal itu terjadi pada sifatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon dan Abdur, Rozak. Ilmu
Kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2003.
Zuhri, Amat. Warna-warna Teologi Islam. Pekalongan:
STAIN Press. 2009.
Nasution, Harun. Teologi Islam; Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press 1986.
Izutsu, Toshihiko. Konsep Kepercayaan dalam
Teologi Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994.
Post a Comment