0 Komentar
Untuk anda yang ingin mendownload filenya, berbentuk (.docx)
Silahkan klik link dibawah ini!.

BAB I
PENDAHULUAN

Pada abad XVII dan XIX M keadaan umat Islam sangat memprihatinkan hal itu disebabkan karena jatuhnya satu persatu negara Islam, kalangan bangsa barat giat menyebarkan agama kristen. Semakin hari yang dirasakan umat Islam semakin memprihatinkan dan menderita dibawah penjajahan orang kristen dan jauh tertinggal bila dibandingkan kemajuan yang telah dialami oleh bangsa barat.Semenjak itulah muncul ide-ide pembaruan dalam Islam untuk mengajak umat agar bangkit dari keterpurukannya.

Abad XX adalah abad kebangkitan umat Islam karena di abad itu banyak negara-negara Islam yang merdeka dan bebas dari penjajahan. Di Indonesia kebangkitan Islam dimulai dengan bermunculnya organisasi-organisasi Islam baik yang bersifat keagamaan maupun politik.
Salah satu organisasi Islam yang lahir sebagai pembaru waktu itu adalah Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1912 oleh seorang tokoh utamanya yaitu K.H. Ahmad Dahlan.
Dalam makalah ini kami tidak akan membahas mengenai seluk beluk organisasi Muhammadiyah secara mendetail, tetapi lebih memfokuskan kepada tokoh utama Muhammadiyah yang dalam hal ini memuat tentang riwayat hidup dan setting sosial beliau, serta ide-ide pokok pemikiran tentang pendidikan yang secara lengkapnya akan kami paparkan berikut ini.









BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi
K.H Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya adalah seorang ulama bernama K.H Abu Bakar bin K.H Sulaimanyang menjadi khotib tetap di Masjid Sultan di kota tersebut. Ibunya bernama Siti Aminahyang merupakan anak seorang penghulu yang bernama H. Ibrahim.[1][1]
Di usia balita, oleh kedua orang tuanya, Darwis sudah diperkenalkan dengan pendidikan agama. Orang yang pertama kali mengajar beliau adalah ayahnya sendiri, lalu para kyai sekitar Yogyakarta. Sebagaimana umumnya anak-anak kyai, Darwis belajar ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Dengan bekal bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama yangdiperolehnya itu, pada tahun 1888 Darwis menunaikan ibadah haji sekaligus bermukim di Mekkah guna menuntut ilmu selama 4 tahun.
Di Mekkah, Darwis memperdalam ilmu-ilmu keislamannya seperti ilmu qira’at, fiqih, tasawuf, mantiq, falaq, akidah, dan tafsir. Pada tahun 1902 Darwis kembali ke kampung halamannya dengan nama barunya yaitu Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903 beliau kembali ke Mekkah selama 3 tahun untuk mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama yang sudah didapatkan sebelumnya. Beliau tercatat sebagai murid dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi. Pada periode kedua kehadirannya di Mekkah ini,  beliau juga mempelajari pembaruan Islam yang populer dilakukan oleh tokoh pembaru seperti Jamaluddin Al-Afghani, Ibnu Taimiyah,Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridho yang dikenal dengan tafsir al-Manarnya yang menjadi inspirasinya untuk melakukan pembaruan di Indonesia.[2][2]
Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan menjadi tenaga pengajar agama dikampungnya. Disamping itu, ia mengajar di sekolah negeri, seperti Kweekschool (sekolah pendidikan guru) di Jetis Yogyakarta dan Opleiding School Voor Inlandhsche Ambtenaren (OSVIA, sekolah untuk pegawai pribumi) di Magelang. Sambil mengajar, ia juga berdagang dan bertabligh.

B.     Setting Sosial dan Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan
Kehadiran penjajah Belanda ke Indonesia telah merusak tatanan sosial yang ada didalam masyarakat. Kondisi umat Islam mulai menyimpang dari kesucian dan kemurnian ajaran Islam. Selain itu juga pendidikan yang ada sangat lemah. K.H. Ahmad Dahlan merasa prihatin karena umat Islam berada dalam keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.
Beliau tergerak untuk membangun kembali agama Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Hal inilah yang melatarbelakangi pemikiran K.H Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaruan dan lahirnya organisasi Muhammadiyah.
Sebelum Muhammadiyah berdiri beliau telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, beliau diangkat sebagai khatib Masjid Besar Yogyakarta dengan gelar “Khatib Amin”. Salah satu hal yang dilakukannya ketika beliau menjadi khatib adalah mendirikan surau dengan kiblat yang benar. Berdasarkan ilmu yang dimilikinya, menurut beliau banyak tempat ibadah yang tidak benar arah kiblatnya, antara lain adalah masjid Agung Yogyakarta, sehingga beliau mengubah arah kiblatnya. Hal tersebut menyebabkan beliau diberhentikan sebagai seorang khatib.[3][3]
Dalam perjuangannya, K.H. Ahmad Dahlan sering melakukan hal yang menurut ukuran sebagian ulama pada waktu itu tidak sejalan dengan ajaran Islam, seperti memberi pengajian kepada kaum Muslimat dan membolehkan wanita keluar rumah selain untuk mengaji. Dakwah beliau tidak saja terbatas pada golongan masyarakat awam, namun juga menyentuh golongan atas, yaitu para pegawai. Hal ini tampak pada tahun 1909, beliau masuk dan aktif dalam gerakan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya.
Sesuai dengan ide pembaruan yang diserapnya dari pemikiran para gurunya di Timur Tengah, beliau mulai melakukan usaha meluruskan akidah dan amal ibadah masyarakat Islam. Melihat kondisi umat Islam yang saat itu cukup kritis, K.H. Ahmad Dahlan terdorong untuk mendirikan organisasi yang kemudian dinamakan Muhammadiyah. Organisasi ini berdiri pada 8 November 1912 di Yogyakarta. Tujuannya adalah untuk mengadakan dakwah Islam, memajukan pendidikan dan pengajaran, menghidupkan sifat tolong-menolong, mendirikan tempat ibadah dan wakaf, mendidik dan  mengasuh anak-anak agar menjadi umat Islam yang berarti, berusaha ke arah perbaikan dan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam, serta berusaha dengan segala kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat.
Tahun 1922,K.H. Ahmad Dahlan membentuk Badan Musyawarah Ulama yang diketuai oleh K.H. Muhammad Chalil Kamaluddiningrat. Tujuannya adalah untuk mempersatukan ulama’ diseluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam, khususnya bagi Muhammadiyah sendiri. Kemudian pada tahun 1927 para pimpinan Muhammadiyah membentuk Majelis Tarjih yang diketuai oleh Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berpikir dan tertarik pada kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.[4][4]
Ketika Muhammadiyah mendapat pengakuan sah dari pemerintah Belanda tahun 1414, beliau mendirikan perkumpulan kaum ibu, yaitu Sapatresna yang kemudian pada tahun 1920 diganti dengan  nama Aisyiyah yang pertama kali dipimpin oleh istri K.H. Ahmad Dahlan. Pada tahun 1917, K.H. Ahmad Dahlan membentuk pengajian malam jum’at sebagai forum dialog dan tukar pikiran warga Muhamadiyah. Pada tahun 1918 didirikan kepanduan Hizbul Wathan bagi kalangan angkatan muda. Sedangkan pada tahun 1920 didirikan Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah. Pada tahun 1921 dibentuk badan yang membantu pelaksanaan haji. Kemudian beliau membentuk Nasyiatul Aisyiyah pada tahun 1922 yang semula adalah bagian dari Aisyiah muda.
            Adapun pembaruan-pembaruan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
1)   Pembaruan terhadap tujuan pendidikan
Sejak tahun 1912 Muhammadiyah telah menggarap dunia pendidikan, namun perumusan mengenai tujuan pendidikan yang spesifik baru disusun pada tahun 1936. Padamulanya tujuan pendidikan ini tampak dari ucapan K.H. Ahmad Dahlan: “Dadijo Kjai sing kemajoean, adja kesel anggonu njambut gawe kanggo Muhammadiyah” (Jadilah manusia yang maju, jangan pernah lelah dalam bekerja untuk Muhammadiyah).
2)   Pembaruan Teknik Penyelenggaraan Pendidikan
Usaha yang dilakukan adalah dengan jalan modernisasi dalam sistem pendidikan yaitu menukar sistem pondok dan pesantren dengan sistem pendidikan yang modern sesuai dengan tuntutan zaman. Usaha tersebut diwujudkan dalam bentuk lembaga pendidikan yang bersifat spesifik. Ada dua model persekolahan, yaitu:
a)    Model persekolahan umum
Sekolah pertama yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 1911 di Kauman Yogyakarta. Sekolah ini mempunyai murid laki-laki dan perempuan sekaligus, yang diajar dengan menggunakan papan tulis dan kapur, bangku-bangku, serta alat peraga.
b)   Madrasah
Beliau mendirikan madrasah yang mengikuti model gubernamen, bersifat agamis. Perbedaannya dengan sekolah terletak pada kurikulumnya, yaitu 60% agama dan selebihnya nonagama.[5][5]

C.      Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Pendidikan
1.    Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah membentuk alim yang intelek, yaitu seorang muslim yang seimbang iman dan ilmunya, ilmu umum dan ilmu agama, orang yang kuat jasmani dan rohaninya.
Tujuan pendidikan ini dirumuskan dari pernyataan yang sering disampaikan beliau kepada murid-muridnya, yaitu “Dadiyo kyai sing kemajuan, lan ojo kesel-kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah” (Jadilah ulama yang modern dan jangan merasa lelah bekerja untuk Muhammadiyah).[6][6] Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya mengakomodasi berbagai ilmu pegetahuan, baik umum maupun agama untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spiritualitas peserta didik.[7][7]
2.    Materi Pendidikan
Dari segi kurikulum, sekolah Muhammadiyah mengajarkan dua ilmu sekaligus, yaitu ilmu agama dan ilmu umum yang meliputi:
Ø Mata pelajaran agama: Qur’an-hadist, fiqh, ilmu tasawuf, ilmu kalam, ilmu tafsir jalalain dan Al-Manar.
Ø Pengetahuan umum: ilmu sejarah, ilmu hitung, menggambar, bahasa melayu, bahasa Belanda (bahasa Inggris).[8][8]
                        K.H Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a.    Pendidikan moral, akhlak yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-qur’an dan As-Sunnah.
b.    Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c.    Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.[9][9]
3.    Metode Pembelajaran
K. H. Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode sintesis antara metode pendidikan modern barat dengan metode pendidikan pesantren. Yaitu dengan cara menggabungkan sistem pendidikan pesantren (sorogan/ halaqah) dengan sistem pendidikan Belanda (sistem klasikal). Dan metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual, yaitu tidak cukup dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.[10][10]
4.    Pendidik
Etika Guru Menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
a)   Menguasai bahan
b)  Menguasai program belajar
c)   Mengelola kelas
d)  Menggunakan media dan sumber
e)   Mengelola interaksi belajar mengajar
f)   Menilai prestasi siswa untuk kependidikan dan pengajaran.[11][11]
D.      Relevansi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dengan Dunia Pendidikan Sekarang
Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan masih relevan dengan dunia pendidikan saat ini. Hal ini dibuktikan dalam tujuan pendidikan itu sendiri yang sejalan dengan pendidikan sekarang yaitu menjadikan manusia lebih maju dengan menguasai ilmu agama dan ilmu umum. Materi pendidikan atau kurikulum pendidikan sekarang juga memadukan antara ilmu umum dan ilmu agama sehingga dalam lembaga pendidikan sekolah tidak hanya diajarkan ilmu umum saja melainkan juga diajarkan ilmu agama begitu pula sebaliknya dalam madrasah tidak hanya diajarkan ilmu agama saja melainkan juga diajarkan ilmu umum.
Selain itu, metode sintesis dan kontekstual yang dikemukakan beliau juga masih sesuai dengan dunia pendidikan sekarang dan banyak digunakan di sekolah-sekolah. Sehingga dalam penyampaian materi pelajaran guru tidak hanya menyuruh siswa untuk memahami dan menghafal saja melainkan juga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.





















BAB III
PENUTUP

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai pembaru, K.H. Ahmad Dahlan telah banyak berjasa dalam banyak aspek bagi perubahan masyarakat Indonesia. Beliau adalah orang yang selalu menekankan pengamalan kesalehan individu dan sosial secara seimbang dan secara langsung memberikan teladannya bagi masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usahamembentuk manusia alim yang intelek, yaitu seorang muslim yang seimbang iman dan ilmunya, ilmu umum dan ilmu agama, orang yang kuat jasmani dan rohaninya. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang demikian, beliau menggegas kurikulum pendidikan yang meliputi pendidikan moral, pendidikan individu, dan pendidikan kemasyarakatan. Dengan menggunakan metode sintesis dan metode yang bercorak kontekstual dalam proses pembelajarannya.
Pemikirannya tentang pendidikan tersebut dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.











DAFTAR PUSTAKA

Khozin. 2005. Menggugat Pendidikan Muhammadiyah. Malang: UMM Press

Kurniawan, Syamsul; Mahrus, Erwin. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Muhammad, Herry. 2006. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20.  Jakarta: Gema Insani Press

Ramayulis; Nizar. Samsul. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum Teaching

Sholehuddin, M. Sugeng. 2010. Reinventing Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan
















[1][1]Syamsul Kurniawan; Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm 193
[2][2] Herry Muhammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 7-8
[3][3]Syamsul Kurniawan; Erwin Mahrus, Op.cit, hlm.195-196
[4][4]Ibid, hlm. 196-198
[5][5]Ibid, hlm. 198-201
[6][6] Khozin, Menggugat Pendidikan Muhammadiyah, (Malang: UMM Press, 2005), Hlm. 50
[7][7]Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), Hlm. 210
[8][8] M. Sugeng Sholehuddin, Reinventing Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2010), hlm. 150

[9][9] Ramayulis dan Samsul Nizar, Loc.cit.
[10][10]M. Sugeng Sholehuddin, hlm. 145-146

Post a Comment

 
Top