Untuk anda
yang ingin mendownload filenya, berbentuk (.docx)
Silahkan
klik link dibawah ini!
I.
Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk
sosial membutuhkan orang lain untuk berinteraksi, karena pada dasarnya manusia
tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara sendiri-sendiri. Oleh sebab itu
perlu berhubungan dengan orang lain. Manusia yang hidup di dunia ini selalu
dituntut dan diburu oleh kebutuhan-kebutuhan guna melengkapi panggilan
hidupnya. Untuk melakukan semua itu mereka melakukannya dengan berbagai macam
cara. Di antaranya dengan bercocok tanam, bekerja sebagai pegawai negeri,
nelayan dan sebagainya. Dari semua kegiatan usah tersebut, di antaranya juga
meliputi jual beli, atau dalam bahasa arabnya disebut dengan (al-bai’).
Ada yang melakukan jual beli ini atas namanya sendiri, ada yang mengatas
namakan masyarakat (koperasi).
Islam adalah agama yang
mengatur seluruh kehidupan yang berhubungan dengan manusia, baik yang
berhubungan dengan khaliq (pencipta), ataupun yang berhubungan dengan
sesama (makhluk) manusia. Islam sangat menganjurkan perniagaan atau jual
beli kepada umatnya, sebagimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam
surat an-Nisa ayat : 29,
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. an-Nisa : 29)
Mengingat pentingnya
jual beli tersebut, maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak berdiam diri, dengan tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala tersebut.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan berbagai hal
yang berhubungan dengan jual beli, sebagaimana sabdanya :
عَنْ سَعِيْدِ ابْنِ عُمَيْر قَالَ سُئِلَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيُّ كَسْبِ الرَّجُلِ اَطْيَبٌ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ
وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٌ {رواه البيهقى}
Artrinya : “Dari
Sa’id bin Umair berkata; bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
di tanya, usaha apakah yang paling baik ? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab : yaitu pekerjaan seorang laki-laki yang di lakukan dengan
tangannya sendiri dan tiap jual beli yang mabrur (bersih)” (HR. al-Baihaqi)[1]
Dengan demikian
berkembangnya teknologi, dunia perdagangan pun semakin mengalami corak-corak
tersendiri, hingga kepada hal yang semakin praktis. Teknis pelaksanaannya tidak
lagi menggunakan “ijab dan qabul”, bahkan ada yang menggunakan
sistem komputer dan internet, walaupun masih terdapat sebagian masyarakat yang
menggunakan cara tradisional dengan ijab qabul. Dan yang tidak
menggunakan ijab qabul inilah dalam bahasa fiqh yang di sebut “jual beli
mu’athah” (saling memberi dan menerima), karena adanya perbuatan dari
pihak-pihak yang telah saling memahami perbuatan transaksi tersebut dengan
segala akibat hukumnya. Kegiatan seperti ini sering terjadi di
supermarket-supermarket, swalayan-swalayan, yang tidak ada proses tawar menawar
di dalamnya. Dalam hal ini, pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang
secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut, dan kemudian si pembeli
datang ke meja kasir dengan menunjukkan bahwa di antara mereka akan melakukan
transaksi jual-beli.
II.
Pembahasan
1. Pengertian
Jual Beli
Jual beli menurut
pengertian lughawinya adalah saling menukar (pertukaran). Dan kata al-bai’
(jual) dan asy-syira’ (beli) dipergunakan biasanya dalam pengertian yang
sama. Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang satu sama lainnya
bertolak belakang.[2]
Pada dasarnya ada
beberapa definisi jual beli yang dikemukakan ulama fiqh. Di kalangan ulama
Madzhab Hanafi terdapat dua definisi. Pertama, saling menukar harta
dengan harta melalui cara tertentu. Kedua, tukar menukar sesuatu yang
diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.”
Unsur-unsur definisi ini mengandung pengertian bahwa cara yang khusus dimaksud
ulama Madzhab Hanafi adalah melaui ijab (ungkapan membeli dari pembeli)
dan qabul (pernyataan jual dari penjual) atau juga bisa melalui saling
memberikan barang dan harga antara penjual dan pembeli.
Definisi lain
dikemukakan ulama Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Menurut mereka, jaul
beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan pemillik
dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta tersebut yang sifatnya bukan
pemilikan, seperti sewa-menyewa (ijarah).[3]
Zainuddin Ali menyebutkan bahwa jual beli adalah, suatu transaksi yang
dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli terhadap sesuatu barang
dengan harga yang disepakati. Dan jual beli ini harus terdapat di dalamnya lima
unsur, yakni :
a.
Penjual. Yakni pemilik harta yang menjual hartanya atau orang yang diberi kuasa
untuk menjual harta orang lain. Penjual harus cakap melakukan penjualan (mukallaf).
b.
Pembeli. Yakni orang yang cakap yang dapat membelanjakan hartanya (uangnya).
c.
Barang jualan. Yakni sesuatu yang dibolehkan oleh syara’ untuk dijual
dan diketahui sifatnya oleh pembeli.
d.
Transaksi jual beli yang berbentuk serah terima.
e.
Persetujuan kedua belah pihak. Yakni penjual dan pihak pembeli setuju untuk
melakukan transaksi jual beli.[4]
III.
Hukum
Unsur-unsur jual beli
di atas, menunjukkan terjadinya transaksi jual beli. Dengan demikian, bila ada
unsur yang tidak terpenuhi maka jual beli itu tidaklah sah.
Berdasarkan penjelasan
di atas, maka dapat difahami bahwa perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari
satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain
dinamakan membeli. Barang yang menjadi objek perjanjian jual beli harus cukup
tersedia dan tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya
pada saat ia kan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli.
Dengan demikian maka
dapat dirumuskan bahwa jual beli hanya akan akan sah bila dilakukan dengan akad
yang sah.
Adupun pengertian akad
adalah :
الر بط وهو جمع الطرفي
حبلين و يشد أحدهما بالآخر حتى يتصلا فيصبحا كقطعة واحدة [5]
Artinya : “Ikatan,
yakni mengumpulkan dua tepi dan mengikat salah satunya dengan lainnya hingga
tergabung, dan menjadilah ia seperti sepotong benda.”
Sedangkan akad mu’athah
adalah :
المعاطة هي الأخذ
والإعطاء بدون الكلا م
Artinya : “al-Mu’athah
adalah (suatu akad jual beli dengan cara) mengambil dan memberikan sesuatu
tanpa harus berbicara.”[6]
2. Rukun dan Syarat
Jual Beli.
Rukun jual beli menurut
ulama Madzhab Hanafi hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari
pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka, yang
menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha / taradhi)
kedua belah pihak untuk berjual beli. Hal ini berbeda dengan pendapat jumhur
ulama yang menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu: Pertama,
orang yang berakad (penjual dan pembeli). Kedua, sighat
(lafal ijab dan qabul). Ketiga, ada barang yang dibeli, Keempat,
ada nilai tukar pengganti barang.[7]
Mengenai hal ini,
sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ
تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَ لاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ
اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا{النساء : 29}
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ : 29)
Adapun syarat jual beli
adalah :
a.
Syarat orang yang berakad. Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang
melakukan akad-akad jual beli harus memenuhi syarat, yakni berakal dan yang
melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.
b.
Syarat yang terkait dengan ijab qabul. Ulama fiqh sepakat menyatakan
bahwa unsur utama dari jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan
ini bisa dilihat dari ijab qabul yang dilangsungkan. Ulama fiqh
mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu adalah sebagai
berikut :
1)
Orang yang berijab-kabul telah baligh dan berakal menurut jumhur ulama,
atau telah berakal, menurut ulama Madzhab Hanafi, sesuai dengan perbedaan
mereka dalam syarat-syarat orang yang melakukan akad seperti
disebut di atas.
2)
Qabul sesui dengan ijab.
3)
Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.
c.
Syarat barang yang diperjual belikan, adalah sebagai berikut :
1)
Barang itu ada, atau tidak ada di tempat tetapi panjual menyatakan
kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
2)
Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
3)
Milik seseorang.
4)
Bisa diserahkan saat aqad berlangsung.
d.
Syarat nilai tukar (harga barang). Termasuk unsur terpenting dalam jual beli
adalah nilai tukar dari barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang).
Harga yang dapat dipermainkan para pedagang adalah al-tsamn. Ulama fiqh
mengemukakan syarat al-tsamn sebagai berikut :
1)
Harga yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2)
Bisa diserahkan pada waktu akad, meskipun secara hukum seperti pembayaran
dengan cek dan kartu kredit.
3)
Apabila jual beli itu dilakukan secar barter (al-muqayadah), maka barang
yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’.
3.
Perkembangan Transaksi Bisnis di Dalam Islam dan Hukum al-Mu’athah.
Dalam melaksanakan
transaksi (perikatan atau al-‘aqdu) terdapat rukun dan syarat yang harus
dipenuhi. Pendapat mengenai rukun aqad dalam hukum Islam ini beraneka
ragam di kalangan para ahli fiqh. Di kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa
rukun akad hanya sighat al-‘aqdu, yakni ijab dan kabul. Sedangkan
syaratnya adalah al-‘aqidain (subjek akad) dan mahal al-‘aqdi
(objek akad). Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan madzhab asy-Syafi’i
termasuk imam al-Gazali dan kalangan madzhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi,
bahwa al-‘aqidain dan mahal al-‘aqdi termasuk rukun akad karena
kedua hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad.[8] Namun
jumhur ulama’ berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-‘aqidaini, mahal
al-‘aqdi, dan sighat al-‘aqdi.[9]
Melalui penjelasan di
atas maka dapat difahami bahwa transaksi al-mu’athah dan elektrik merupakan
transaksi dengan jalan “perbuatan”, di mana adanya perbuatan ini adalah dari
pihak yang telah saling memahami perbuatan transaksi tersebut dengan segala
akibat hukumnya. Hal ini menunjukkan bahwa esensi dari akad sesungguhnya
bukanlah pada bentuk lafazh atau perkataan dari ijab dan kabul, akan
tetapi lebih pada maksud dari transaksi itu sendiri. Ini sesuai dengan isi
ungkapan kaidah fiqh yang berbunyi :
العبرة فى العقود
للمقاصد والمعانى لا للأ لفاظ والمبانى
Artinya : “yang
dinggap di dalam akad adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan lafazh-lafazh
dan bentuk-bentuk perkataan.“[10]
Dalam kaidah lain
disebutkan bahwa hukum itu berubah sesuai dengan perubahan keadaaan :
لا ينكر تغير الأحكام
بتغير الأزمان
Artinya : “Tidak
dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena perubahan waktu.”[11]
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam juga pernah menyampaikan bahwa dalam hal mu’amalah
maka berikanlah kemudahan dan jangan mempersulit :
عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : يَسِّرُوا وَ
لاَ تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَ لاَ تُنَفِّرُوا{رواه البخارى}
Artinya : “Dari Anas
bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; mudahkanlah mereka
jangan dipersulit, berilah kabar gembira jangan kau membuat jadi mereka lari.”[12]
Teori di atas
menunjukkan bahwa hukum Islam pada dasarnya membolehkan segala praktek bisnis
yang dapat memberikan manfaat. Tiga prinsip dasarnya adalah ;
a.
Kaidah hukum Islam.
الاصل فى الأشياء
الإباحة حتى يدل دليل على تحر يمها
Artinya : “Dasar
pada setiap sesuatu pekerjaan adalah boleh sampai ada dalil yang yang
mengaharamkannya.”
العادة محكمة
Artinya : “Kebiasaan
adalah bagian dari hukum.“[13]
b.
Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
الْمُسْلِمُونَ عَلَى
شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَ لاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا{رواه الترمذى}
Artinya : “Kaum
muslimin bertransaksi sesuai dengan syarat-syaratnya selama tidak mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram.”[14]
Berdasarkan penjelasan
di atas, sungguh tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pada perkembangannya dunia
teknologi pada zaman ini yang sungguh sangat pesat, maka terdapat pula kegiatan
transaksi bisnis yang marak melalui internet dan SMS (electronics
transaction ; transaksi elektronik). Di mana seseorang cukup mengetik apa
yang diinginkan dengan memasukkan nomor kartu kredit ke jumlah harga yang sudah
ditentukan oleh penjual, maka transaksipun selesai, kemudian barang akan
dikirimkan ke alamat yang masukkan, dalam beberapa hari.
Adapun penjelasan Imam
asy-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah tentang al-mu’athah adalah sebagai
berikut :
a.
Menurut Imam asy-Syafi’i.
Dalam pandangan atau
hasil ijtihad Imam asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala menyebutkan, bahwa ia
tidak membolehkan akad atau transasksi seperti ini karena menurutnya, kehendak
kedua belah pihak yang berakad harus dinyatakan secara jelas melalui perkataan
dalam ijab dan kabul.[15]
Ungkapan Imam asy-Syafi’i tidak membenarkan pernyataan kehendak untuk membuat
akad secara ta’athi (al-mu’athah) ini disebabkan karena pemikirannya
yang sangat formal dan tenggelam dalam verbalisme (lafzhiyah).
Asy-Syirazi mengatakan, “…adapun perbuatan diam-diam (ta’athi/al-mu’athah)
tidak dapat melahirkan akad jual-beli, karena sebutan jual-beli itu tidak
mencakup perbuatan secara diam-diam.”[16]
b.
Menurut Imam Abu Hanifah.
Dalam hal ini, Imam Abu
Hanifah, jumhur ulama’ fiqh termasuk di dalamnya ada ulama’ dari madzhab
asy-Syafi’i dari generasi belakangan, yakni Imam al-Nawawi, secara jelas dan
tegas membolehkan kegiatan transaksi seperti ini karena cara transaksi jual
beli seperti ini telah menjadi kebiasaan masyarakat di berbagai wilayah Islam.
Menurut Imam Abu Hanifah, akad seperti ini dinyatakan sah. Hanya saja keabsahan
ini dicapai melalui perkembangan. Mula-mula akad ta’athi (diam-diam)
hanya dianggap sah dalam transaksi kecil dan dianggap tidak sah untuk transaksi
jumlah besar. Kemudian imam madzhab ini mengakui keabsahan akad ta’athi
dalam partai besar juga. Demikian pula, mula-mula akad ta’athi hanya sah
apabila pembayaran dilakukan secara tunai dari kedua belah pihak, kemudian
dipandang cukup tunai dari satu pihak saja.[17]
IV. Penutup
Saran
Sesuai uraian diatas
penuls lebih cenderung pada kebolehan segala transasksi dengan bentuk yang
dapat memudahkan kedua belah pihak. Hal ini dikarenakan hukum Islam pada
dasarnya membolehkan segala praktek bisnis yang dapat memberikan manfaat, tiga
prinsip dasarnya yakni; (1) kaidah hukum Islam yang berbunyi “dasar pada
setiap sesuatu pekerjaan adalah boleh sampai ada dalil yang yang
mengaharamkannya”. (2) Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
yang berbunyi “kaum muslimin bertransaksi sesuai dengan syarat-syaratnya selama
tidak dihalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”. (3) Kaidah hukum Islam
yang menyatakan bahwa “kebiasaan adalah bagian dari hukum”.
Saran
Untuk lebih
berhati-hati dalam transaksi jual beli, alangkah lebih baiknya dilakukan
transaksi secara langsung bertatap muka.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, 2006. Ensiklopedi Hukum Islam,
Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve.
Abu Ishaq Asy-Syirazi, al-Muhadzdzab,
(Mesir: ‘Isa al-Babi al-Halabi, t.th.), Juz I
Al-Imam Kamaluddin Muhammad ibn Abd al-Wahid al-Siwasi
ibn al-Humam, 1977. Syarh Fath al-Qadir, Beirut: Dar al-Fikr.
Asjmuni A Rahman, 1976.
Qawa’idul Fiqhiyyah, Jakarta: Bulan Bintang.
Faturrahman Djamil, 2001 . “Hukum Perjanjian Syariah”
dalam Kompilasi Hukum Perikatan, oleh Mariam Darus Badrulzaman, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Ghufron A Mas’adi, 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Imam al-Baihaqi, Sunan al-Kubra li al-Baihaqi,
Juz 5, CD. al-Maktabah al-Syamilah.
Imam al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari Kitab al-‘Ilm, No. Hadits 67, CD al-Bayan
Imam al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi Kitab al-Ahkam,
No. Hadits 1272, CD al-Bayan
Sayyid Sabiq, 1997. Fiqh
Sunnah, Bandung: Pustaka Percetakan Offset, Cet. 11
TM Hasbi ash-Shiddqiey, 1974. Pengantar Fiqh
Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang. Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah,
Juz III. Beirut: Dar al-Fikr.
Zainuddin Ali, 2006. Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.
[1] Imam al-Baihaqi, Sunan
al-Kubra li al-Baihaqi, Juz 5, CD. al-Maktabah al-Syamilah. hlm. 263
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh
Sunnah, (Bandung: Pustaka Percetakan Offset, 1997), Cet. 11, hlm. 47
[6]
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah,
Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.) hlm. 236
[7] Abdul Aziz Dahlan. Ibid.,
hlm. 828
[8] Ghufron A Mas’adi, Fiqh
Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) hlm. 79
[10] Asjmuni A Rahman, Qawa’idul
Fiqhiyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976) hlm. 90
[11] Ibid.
[12] Imam al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari Kitab al-‘Ilm, No. Hadits 67, CD al-Bayan
[13] Asjmuni A Rahman, op.cit.,
h. 88
[14] Imam al-Turmudzi, Sunan
al-Turmudzi Kitab al-Ahkam, No. Hadits 1272, CD al-Bayan
[15] Abdul Aziz Dahlan,…[et
al.], Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
2006), h. 64
Post a Comment