0 Komentar
Untuk anda yang ingin mendownload filenya, silahkan klik link dibawah ini!

BAB II
Pembahasan
Filsafat Islam di Dunia Timur
Al-Kindi
A.    Riwayat Hidup
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf a’qub bin Ishak al-Kindi. Beliau dilahirkan pada tahun 809 M di kota Basrah. Orang tuanya bersal dari suku Kindah yang bermukim di Arab Selatan. Ayahnya, Ishaq bin Saleh menjabat Gubernur Kufah pada masa Khalifah al-Mahdi ( 775-785 ) sampai khalifah Harun al-Rasyid ( 786-809 ).[1] Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi lahir. Dengan demikian al-Kindi dibesarkan dalam keadaan yatim.[2]

Nama al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku, yaitu: Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah Selatan Jazirah Arab dan mereka mempunyai kebudayaan tinggi. [3]
Memperhatikan tahun lahirnya, dapat diketahui bahwa al-Kindi hidup pada masa keemasan kekuasaan Bani ‘Abbas. Pada masa kecilnya, al-Kindi sempat merasakan masa khalifah Harun al-Rasyid yang terkenal sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan bagi kaum muslim. Pada masa pemerintahannya, Baghdad menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat ilmu pengetahuan. Al-Rasyid mendirikan semacam akademi atau lembaga, tempat pertemuan para ilmuan yang disebut bait al-hikmah (balai ilmu pengetahuan) . Al-Rasyid wafat pada tahun 193 H(809 M) ketika al-Kindi masih berumur 9 tahun . Sepeninggal al-Rasyid, putranya al-amin menggantikannya sebagai khalifah, tetapi masanya tidak tercatat ada usaha-usaha untuk mengembangkan lanjut ilmu pengetahuan yang telah dirintis dengan mengembangkan usaha susah payah oleh ayahnya.[4]
Sebagai orang yang dilahirkan dikalangan para intelektual, maka pendidikan yang pertama-tama diterima adalah membaca al-Qur’an, menulis, dan berhitung. Disamping itu ia banyak mempelajari tentang sastra dan agama, juga menerjemahkan beberapa buku yunani di dalam bahasa siria kuno dan bahasa Arab.[5] Dan pada waktu inilah al-Kindi muncul sebagai salah seorang tokoh yang mendapat kepercayaan untuk mernjemahkan kitab-kitab Yunani kedalam bahasa Arab, bahkan ia memberi komentar terhadap pikiran kepada filosof Yunani. Namun beliau lebih tertarik dengan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Al-Kindi adalah seorang muslim Arab pertama yang mempelajari filsafat. Karena itu beliau disebut filsafat muslim.[6]
B.     Karya-karya al-Kindi
Karya ilmiah al-Kindi kebanyakan hanya berupa makalah-makalah, tetapi jumlahnya amat banyak, Ibnu Nadim, dalam kitabnya al-Fihrits menyebutkan lebih dari 230 buah. Dalam bidang filsafat, karangan al-Kindi pernah diterbitkan oleh Prof.Abu Ridah (1950) dengan judul Rasail al-Kindi al-Falasifah ( makalah-makalah filsafat al-Kindi ), yang berisi 29 makalah. Prof.Ahmad fuad al-Akhwani pernah menerbitkan makalah al-Kindi tentang filsafat pertamanya dengan judul kitab Al-Kindi Ila al-Mu’tashim Bilah fi-Al-Falsafah al-Ula ( surat al-Kindi kepada mu’tashim bilah tentang filsafat pertama).
Karangan al-Kindi mengenai filsafat menunjukan ketelitian dan kecermatam dalam memberikan batasan-batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat. Masalah-masalah filsafat yang ia bahas mencakup epistimologi, metafisika, etika dan sebagainya.
Dari karangan-karangannya dapat diketahui bahwa”al-Kindi adalah penganut aliran eklektisisme”. Dalam metafisika al-Kindi mengambil pendapat pendapat Aristoteles, dalam psikologi ia mengambil pendapat Plato, dalam bidang etika ia mengambil pendapat Socrates dan Plato. Meskipun demikian, kepribadian al-Kindi sebagai filosof muslim tetap bertahan.
Sebagai seorang pelopor yang dengan sadar berusaha mempertemukan agama dengan filsafat Yunani, al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah semulia-mulia ilmu dan yang tertinggi martabatnya, dan filsafat menjadi kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk memilii filsafat itu. Misalnya kejadian alam, al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam itu abadi. Ia tetap berpegang pada keyakinannya bahwa alam adalah ciptaan Allah diciptakan dari tiada akan berakhir menjadi tiada pula. Dengan demikian, bagi al-Kindi, berfilsafat tidaklah berakibat mengaburkan dan mengorbankan keyakinan agama, seperti yang sering dituduhkan kepadanya. Filsafat sejalan dan dapat mengabdi kepada agama.[7]
C.    Definisi Filsafat
Al-Kindi menyajikan banyak definisi filsafat tanpa menyatakan bahwa definisi filsafat mana yang menjadi miliknya. Definisi-definisi al-Kindi sebagai berikut:
1)            Filsafat terdiri dari gabungan dua kata, philo, sahabat dan sophia, kebijakan. Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan. Definisi ini berdasarkan atas etimologi Yunani dari kata-kata itu.
2)            Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia.
3)            Filsafat dalah pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan.
4)            Filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi bersifat menyeluruh ( umum ), baik esensinya maupun kausa-kausanya.[8]
Dengan demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan kebenaran tetapi di samping itu juga merupakan aktualisasi atau pengalaman dari kebenaran itu. Al-Kindi menegaskan juga bahwa filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama, kausa dari pada semua kebenaran, yaitu filsafat pertama. Filosof yang sempurna dan sejati adalah yang memiliki pengetahuan tantang yang paling utama ini. Pengetahuan tentang kausa(‘illat) lebih utama dari pengetahuan tentang akibat ( maf’ul, effect ). Orang akan mengetahui tentang realitas secara sempurna jika pengetahuan pula yang menjadi kausannya.[9]
D.    Epistimologi
Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia yaitu:
1.      Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap objek-objek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi, diteruskan ke tempat penampungan yang disebut hafizhah.
2.      Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakn akal bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial.


3.      Pengetahuan Isyraqi
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuaninderawi sajatidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-hakikat. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies. Al-Kindi, sebagaimana halnya banyak filosof isyraqi( iluminasi ), yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi.[10]
E.     Metafisika
Dari segi filsafat, argumen Al-Kindi itu sejalan dengan argumen Aristoteles tentang Causa Prima dan Penggerak Prtama, penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argumen Al-Kindi itu sejalan dengan argumen ilmu kalam: Alam berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adal h baru, jadi alam adalah baru, karena alam adalah baru, maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptaannya, yang mencipta dari tiada.[11]
F.     Etika
Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusiawi tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Orang harus menahan diri dari sesuatu yang tidak dimilikinya. Melepaskan diri untuk berkeinginan mengakibatkan tuntutan pemenuhan keinginan yang tidak dapat terhenti. Seperti halnya yang dikatakan Socrates ketika ditanya mengapa ia tidak pernah kelihatan susah. Jawabnya: saya tidak memiliki sesuatu yang patut saya susahkan jika hilang.
Atas dasar bahwa hidup manusia di dunia ini hanya sementara waktu saja, maka orang yang berakal janganlah manambatkan kebahagiaannya kepada barang-barang yang bersifat material yang akhirnya pasti akan ditinggal juga.[12]
G.    Filsafat Ketuhanan
Sebagai halnya dengan filosof-filosof yunani dan filosof-filosof islam lainnya, al-kindi, selain dari filosof, adalah juga ahli ilmu pengetahuan.
1.      Pengetahuan illahi علم إلهى           = divine science), sebagai yang tercantum dalam al-qur’an = yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
2.      Pengetahuan manusiawi    علم إنسانى          = human science) atau falsafat. Dasarnya  ialah pemikiran (ratio reason)
Argumen-argumen yang dibawa Qur-an lebih meyakinkan dari pada argumen-argumen yang ditimbulkan falsafat. Tetapi falsafat dan Quran tak bertentangan; kebenaran yang diberitakan wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa falsafat.
Filsafat baginya ialah pengetahuan tentang yang benar بحث عن الحق ) knowledge of truth). Disinilah terlihat persamaan falsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik; falsafah itulah tujuannya. Dan falsafah yang paling tinggi ialah falsafah tentang Tuhan. Sebagai kata al-kindi:
falsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafat utama, yaitu ilmu tentang yang benar pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar
Kebenaran ialah sesuai apa yang ada dalam akal dengan apa yang ada diluar akal. Dalam alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap dengan pancaindera. Benda-benda ini merupakan juz’at perticulars. Yang penting bagi falsafat bukan juz’iat yang tak terhingga banyaknya itu, tetapi yang penting ialah hakekat yang terdapat dalah juz’iat  itu, yaitu kulliat ( كايات universals, definisi).
Tuhan dalam filsafat al-kindi tidak mempunyai hakekat dalam arti aniah atau  mahiah. tidak aniah karena tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah pencipta alam.
Sesuatu dengan faham yang ada dalam islam, tuhan bagi al-kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama sebagai pendapat aristoteles. Alam bagi al-kindi bukan kekal di zaman lampau (قديم)  tetapi mempunyai permulaan.[13]

Untuk  melihat   bukti-bukti  wujud  Tuhan,  maka  AL- Kindi dengan  menggunakan  tiga jalan yaitu pertama:
a.       Barunya alam, alam ini baru dan ada permulaan waktunya, karena alam ini terbatas, oleh karena itu yang meyebabkan alam  ini tercipta, dan tidak mungkin ada sesuatu benda yang ada dengan sendirinya. Maka ia diciptakan oleh penciptanya dari tiada. Kedua,- keanekaragaman dalam wujud (katsrah fil maujudat), keanekaragaman disini adalah ada yang menyebabkan, atau ada sebab. Sebab itu bukanlah alam itu sendiri tetapi sebab yang ada berada diluar alam lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya karena sebab harus ada sebelum akibat (ma’ lul; effect). Ketiga; kerapian alam, bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali adanya at yang tidak nampak , yang zat yang tidak nampak itu hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas- Nya (illat tujuan/ illat ghaiyyah)
b.      Keesaan, suatu sifat yang paling khas bagi-Nya
c.       Yang maha tahu
d.      Yang maha berkuasa
e.       Yang maha hidup, dan seterusnya [14]

H.    Filsafat Jiwa
Jiwa dipandang inti-sari dari manusia dan filosof-filosof islam banyak membicangkan hal ini, apalagi karena ayat-ayat Quran atau hadist Nabi tidak menjelaskan hakekat roh itu. Roh adalah urusan tuhan dan bukan urusan manusia.
      Menurut al-kindi roh tidak tersusun (بسيطة)   simple, sederhana) tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya (الجوهر) berasal dari substansi tuhan.
      Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Roh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan, ia tidak hancur, karena substansinya berasal dari substansi tuhan. Ia adalah cahaya yang dipancarkan tuhan. Selama dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuan tidak sempurna.
Jiwa mempunyai 3 daya: daya bernafsu, daya pemarah, dan Daya berfikir (appetatif-irascible dan cognitive facilty,). Daya berfikir itu disebut akal. Menurut al-kindi ada tiga macam akal:
a.       akal yang bersifat potensil :
b.      akal yang telah keluar dari sifat potensil menjadi aktuil dan
c.       akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
      Akal yang bersifat potensil tak bisa mempunyai sifat aktuil jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi al-kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud duluar roh manusia, bernama: akal yang selamannya dalam aktualitas.
      Sifat-sifat akal:
1)      ia merupakan akal pertama
2)      ia selamanya dalam aktualitas
3)      ia merupakan species dan genus
4)      ia membuat akal potensil menjadi aktuil berfikir
5)      ia tidak sama dengan akal potensil tetapi lain dari padannya.
Bagi al-kindi menusia disebut manjadi ‘akil (عاقل) jika ia telah mengetahui universals, yaitu juka ia telah memperoleh akal yang diluar itu
      Akal pertama ini bagi al-kindi, mengandung arti banyak karena dia adalah universals. Dalam limpahan dari yag maha satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak.[15]




















DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, Ikhwan. 2002. CENDEKIAWAN MUSLIM KLASIK. Jakarta: Salemba            Diniyah.
Mustofa, A. 1997. FILSAFAT ISLAM. Bandung: Pustaka Setia.

Nasution, Harun. 1995. Falsafat & Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Sodarsono. 2008. ILMU FILSAFAT. Jakarta: Rieneka Cipta.




 
















[1] Ikhwan Fauzi,CENDEKIAWAN MUSLIM KLASIK,(Jakarta: Salemba Diniyah,2002),hlm. 28
[2] A.Mustofa,FILSAFAT ISLAM,(Bandung: Pustaka Setia, 1997),hlm. 99
[3] Sodarsono,ILMU FILSAFAT,( Jakarta: Rieneka Cipta, 2008),hlm. 290-291
[4] A.Mustofa, Op.Cit, hlm. 99-100
[5] Sudarsono, Op.Cit, hlm 291
[6] Ikhwan Fauzi, Op.Cit, hlm 29
[7] A.Mustofa, Op.Cit, hlm 102
[8] Ibid, hlm. 103
[9] Ibid, hlm. 104
[10] Ibid, hlm 104-106
[11] Ibid, hlm. 108-109
[12] Ibid, hlm.110-112
[13] Harun Nasution, 1995, Falsafat & Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 14-16
[14] Sudarsono, Op.Cit, hlm. 294.
[15] Harun Nasution, Op.Cit, hlm 17-19

Post a Comment

 
Top