Bagi Anda yang ingin mendownload filenya lengkap, silahkan klik link dibawah
ini!.
Makalah Masailul Fiqhiyah (Bedah Mayat)
BAB I
PENDAHULUAN
Sering terjadi dengan yang namanya otopsi atau bedah mayat.
Biasanya mayat yang mati karena kasus atau pembunuhan atau juga kecelakaan yang
sering terjadi. Hukumnya dalam islam masih di perdebatkan para ulama.
Sebenarnya apa sih tujuannya. Dan kalau memang untuk kepentingan negara terus
bagaimana dengan mayatnya. Padahal namanya orang mati itu sakitnya luar biasa.
Apalagi sampai di otopsi atau di bedah bedah. Sejarah perobatan telah
mencatatkan bahwa bedah mayat, atau dengan lain perkataan ilmu perubatan
forensik mula diperkenalkan dari Negara Arab, kemudian berkembang ke Greek dan
negara-negara barat seterusnya ke seluruh dunia.
Perkembangan kemajuan sains perobatan dalam ilmu pembedahan adalah
berasaskan kepada keilmuan yang dibawa oleh Ibnu Sina. Perkembangan dari semasa
ke semasa melalui kajian dan pengajian ahli sains perubatan telah menghasilkan
teknologi modern dalam ilmu bedah mayat dengan cara lebih saintifik bagi
mencari keadilan dan kebenaran.
Pada abad ke 21 ini, bedah mayat merupakan satu perkara yang tidak
dapat dielakkan dan bukan asing di kalangan umat Islam. Ini kerana ia adalah
tindakan yang perlu diambil dan dilakukan untuk kepentingan masyarakat seperti
untuk kajian dalam bidang perobatan. Walau bagaimana pun dalam urusan bedah
mayat, Islam telah menetapkan beberapa garis panduan yang perlu diikuti supaya
tidak timbul percanggahan antara tuntutan syarah dengan amalan yang dilakukan dalam bidang
perobatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bedah Mayat
Bedah mayat dalam bahasa arab
disebut تَشْرِيْحُ
جُثَثِ الْمَوْتَى. Bedah mayat
adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat, karena ada suatu
maksud atau kepentingan tertentu. Jadi, bedah mayat tidak boleh dilakukan oleh
sembarang orang, walaupun hanya sekedar mengambil barang dari tubuh ( perut)
mayat itu. Sebab, manusia harus dihargai kendatipun ia sudah menjadi mayat.
Apalagi yang ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan penegakkan keadilan.[1]
B.
Tujuan Bedah Mayat
1)
Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam Rahim mayat
Pada
prinsipnya ajaran islam memberikan tuntutan pada umatnya, agar selalu
berijtihad dalam suatu hal yang tidak ada ditemukan nash nya dengan memberikan pedoman dasar dalam
Al-qur’an yang berbunyi:
(#rßÎg»y_ur
Îû «!$#
¨,ym
¾ÍnÏ$ygÅ_
4 uqèd
öNä38u;tFô_$# $tBur @yèy_
ö/ä3øn=tæ
Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB
8ltym
4 ç ÇÐÑÈ
Artinya:
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu kesempitan dalam agama.” (Qs.Al-haj: 78)
Untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi manusia, harus menggunakan akal pikiran yang disebut
dengan ijtihad dalam islam, yang hasilnya untuk kemaslahatan umat dengan
ketentuan, bahwa kemaslahatan umum lebih diutamakan dari pada kemaslahatan
perorangan. Demikian juga halnya kemaslahatan orang hidup lebih diutamakan dari
pada orang mati. Dalam hal ini berati janin perlu diselamtkan.[2]
2)
Untuk mengeluarkan benda yang berharga dari tubuh mayat
Dalam kehidupan
sehari-hari bisa saja terjadi, bahwa seseorang menelan permata orang lain,
apakah karena alasan ingin menghilangkan jejak barang curian, atau karena
alasan lainnya dan sesudah itu dia pun meninggal (kebetulan). Kemudian pemilik
barang tersebut menuntut agar barang permata tersebut dapat dikembalikan
kepadanya. Untuk mengeluarkan benda tersebut tentu harus membedahnya. Ada suatu
hal yang sepantasnya menjadi pertimbangan si pemilik barang, yaitu tentang
nilai barang yang ditelan orang itu. Mungkinkah dapat dimaafkan, atau diminta
pengganti yang senilai barang itu. walaupun hukum membenarkan, tetapi hendaknya
ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang amat erat hubungannya dengan kemanusiaan
dan kepribadian ( pribadi muslim).
3)
Untuk kepentingan penegakkan hukum
Dalam
suatu Negara, diperlukan tegaknya hukum yang seadil-adilnya untuk digunakan
mengatur umat. Dalam hal ini penegak hukumlah yang lebih bertanggung jawab
untuk menegakkan hukum dengan disertai kesadaran seluruh warga Negara tersebut.
Untuk
penegakkan hukum yang adil menurut islam, tentu diserahkan kepada ahli nya agar
para ahli dapat menerapkannya dengan cara yang adil dan benar, sebagaimana
firman Allah:
¨bÎ)
©!$#
öNä.ããBù't
br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$#
#n<Î)
$ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$#
br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/
ÇÎÑÈ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” ( QS.an-Nisa’: 58)
Biasanya bedah
mayat dilakukan bila kematian seseorang diragukan, apakah karena diracun, atau
sengaja minum racun atau pembunuhan yang dilakukan dengan cara lain. Bahkan
bila ada keanehan dan kecurigaan, mayat yang sudah dikubur kan pun digali
kembali.
Penghormatan
terhadap si mayat memang perlu dijaga, tetapi penegakkan hukum lebih penting
lagi, karena menyangkut nasib seseorang yang akan dijatuhi hukuman berat atau
ringan.[3]
4)
Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran
Islam sangat
mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan disegala bidang kehidupan. Oleh
karena itu, kita tidak heran bila para sarjana muslim di abad pertengahan telah
menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan dengan melalui karya-karyanya
dibidang Filsafat, Fisika, Biologi, Ilmu Kedokteran, Ilmu Kesenian, Matematika,
Astronomi dan sebagainya.
Bertepatan
dengan zaman kegelapan yang melanda benua Eropa pada waktu itu, maka bangkitlah
pemikir-pemikir Muslim yang terkemuka yang mengagurnkan pecinta ilmu
pengetahuan di Negara Barat, antara lain:
Al-kindy, Al-farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rushdy, Ibnu Bajah, Al-Jabir,
Al-Khawarizmi, Ar-Razy, Al-Masudy, Al-Wafa, Al-Biruni, dan Umar Hayyan.
Pemikir
tersebut inilah yang mula-mula membuka tabir untuk menerangi seluruh penjuru
dunia dengan membawa penemuan-penemuannya diberbagai cabang ilmu pengetahuan.
Namun demikian, umat islam di abad sesudahnya megalami kemunduran, sedangkan
bangsa-bangsa barat bangkit mempelajari ilmu-ilmu yang telah dirintis oleh
sarjana Muslim, yang akhirnya membawa mereka kepada kemajuan di segala bidang
kehidupan.
Salah satu
cabang ilmu pengetahuan yang relevansinya dengan pembedahan mayat yaitu ilmu Anatomi, yang sebenarnya
dasar-dasar nya sudah ada dalam Al-qur’an sejak 14 abad yang lalu. Dan konsep
inilah yang dikembangkan oleh sarjana muslim di abad pertengahan hingga
dipelajari oleh bangsa barat lewat
penelitian ilmiah. Konsep tersebut berbunyi:
öNä3à)è=øs
Îû ÈbqäÜç/ öNà6ÏG»yg¨Bé& $Z)ù=yz .`ÏiB Ï÷èt/
9,ù=yz
Îû ;M»yJè=àß ;]»n=rO ÇÏÈ
Artinya:
“Dia menjadikan kamu dalam perut
ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan.” (QS. Az-Zumar:6)
Adapun ada tiga kegelapan yang dimaksud dalam
ayat tersebut diatas adalah: kegelapan dalam perut, kegelapan dalam Rahim dan
kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam Rahim. Di masa lalu dengan
tafsiran perut, Rahim dan tulang belakang. Tetapi setelah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, maka sebenarnya yang
dimaksud dengan kalimat tersebut adalah
chorion, amnion, dan dinding uterus.
Ketiga bagian
dalam tubuh tersebut telah dipelajari oleh ahli Anatomi, yang sebenarnya
konsepsinya sudah ada sejak lahirnya agama islam dibumi ini. Oleh karena orang
islam tidak mengembangkan konsepsi tersebut
karena menganggapnya sudah cukup karena bersumber dari Tuhan, maka
kemudian orang Barat yang mengembangkannya dengan mengambil pedoman dari hasil
studi mereka, melalui karya-karya sarjana muslim tersebut di muka. Berarti orang Barat tidak
langsung mempelajarinya lewat Al-quran, tetapi melalui tulisan-tulisan pemikir
muslim yang hidup di abad pertengahan.[4]
C.
Hukum Bedah Mayat
Tujuan bedah mayat yang telah dikemukakan diatas, perlu dikaitkan
dengan hukum islam, agar orang yang akan melaksanakannya tidak merasa ragu-ragu dan dianggap
bertentangan dengan ajaran agama.
1.
Menyelamatkan janin
Seorang wanita
hamil, yang meninggal dunia, tidak boleh dikuburkan sebelum jelas betul atau
sebelum terbukti, bahwa bayi yang dikandungnya itu juga meninggal, berdasarkan
keterangan bidan atau dokter ahli. Hal ini dilakukan terhadap janin yang sudah
berumur tujuh bulan atau lebih.
Dalam hal ini,
islam membolehkan membedah mayat yang didalam rahimnya terdapat janin yang
masih hidup. Urusan tersebut diserahkan kepada dokter ahli untuk
melaksanakannya, dan merawat janin yang diselamatkan itu. Bahkan ada pendapat
yang mengatakan, wajib hukumnya membedah mayat, bila diperkirakan dokter,
janinnya masih hidup.
2.
Mengeluarkan benda yang berharga dari perut mayat
Bedah mayat ini
dilakukan, bila pemilik barang mengajukan tuntutan, agar barangnya yang telah
ditelan itu harus dikembalikan. Bedah mayat dalam soal ini wajib dilakukan,
karena menyangkut dengan hak milik orang lain yang dapat menganggu mayat dialam
kubur dan hari pengadilan kelak pada hari berbangkit.
Bedah mayat
wajib hukumnya, bila dalam perutnya ada batu permata (barang berharga) milik
orang lain. Hal ini berarti, tidak wajib mayat itu dibedah, bila yang ada dalam
perutnya itu miliknya sendiri dan dianggap sudah hancur atau habis dan tidak
ada lagi hubungannnya dengan hak ahli waris. Para ahli waris, cukup melihat
kepada peninggalan yang ada, disamping perlu menghormati si mayat.[5]
3.
Menegakkan kepentingan hukum
Peralatan
modern kadang-kadang sulit juga membuktikan sebab-sebab kematian seseorang
dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Kesulitan tersebut, cukup
menjadi alasan untuk membolehkan membedah mayat sebagai bahan penyelidikan,
karena sangat diperlukan dalam penegakan hukum, dan sesuai dengan kaidah
fiqhiyah:
لاَحَرَامَ مَعَ الضَّرُوْرَةِ وَلاَ كَرَاهَةَ مَعَ الْحَاجَةِ
Artinya: “ Tidak haram bila darurat dan tidak makruh karena hajat.”
Juga berpegang kepada kaidah:
الْحَاجَةُ تَنْزِلَ مَنْزِلَةَ الْضَّرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ
أَوْخَاصَّةً
Artinya:
“Hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat ( yang bersifat)
umum maupun hajat khusus (perorangan).”
Kalau penegak
hukum tidak mau mengusut kejahatan, karena yang dianiaya sudah meninggal dunia,
lalu takut mengadakan pengusutan dengan cara
pembedahan mayat, maka berarti dia memberi jalan kepada penjahat untuk
tidak takut beraksi. Hukum harus ditegakan, meskipun melalui pembedahan mayat
dan pembongkaran kuburan untuk mencapai keadilan.
4.
Memperhatikan kepentingan pendidikan dan keilmuan
Diantara
ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran adalah ilmu tentang susunan tubuh
manusia yang disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu
kedokteran tersebut tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia.
Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat penting bagi seorang calon dokter,
dalam memanfaatkan ilmunya kelak.
Sekiranya
mayat itu memang diperlukan sebagai sarana penelitian untuk mengembangkan ilmu
kedokteran, maka menurut hukum islam, hal ini dibolehkan, karena pengembangan
ilmu kedokteran bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia.[6]
Hukum bedah mayat dengan tujuan anatomis dan klinis
dapat berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk berobat,
karena setiap penyakit ada obatnya. ( HR. Abu Daud dari Abu Darda). Hadits ini
juga mengandung anjuran untuk mengembangkan ilmu kesehatan, seperti bedah mayat
untuk mengantisipasi penyakit yang belum ditemukan obat nya pada saat itu. Sedangkan
bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya memetapkan hukum
secara adil adalah wajib hukumnya.[7]
D.
Pendapat para ulama tentang bedah mayat
Dalam menetukan
hukum bedah mayat , tidak sama pendapat para ulama:
1.
Imam Ahmad bin hambali
Seorang yang
sedang hamil dan kemudian dia meninggal dunia, maka perutnya tidak perlu
dibedah, kecuali sudah diyakini benar, bahwa janin itu masih hidup.
2.
Imam syafi’i
Jika
seorang hamil, kemudian dia meniggal dunia dan ternyata janinnya masih hidup,
maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya. Begitu juga hukumnya,
kalau dalam perut si mayat itu ada barang yang berharga.
3.
Imam malik
Seorang yang
meninggal dunia dan didalam perutnya ada barang yang berharga, maka mayat itu
harus dibedah, baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain. Tetapi
tidak perlu (tidak boleh dibedah) , kalau hanya untuk mengeluarkan janin yang
diperkirakan masih hidup.
4.
Imam hanafi
Seandainya
diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya
wajib dibedah untuk
mengeluarkan janin itu.[8]
E.
Fatwa MUI Tentang Bedah Mayat
Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah, pada dasarnya
mengharamkan otopsi (otopsi forensik dan otopsi klinis), tapi kemudian
membolehkan asalkan ada kebutuhan pihak berwenang dengan syarat-syarat
tertentu.
Dalam fatwa MUI tersebut pada “Ketentuan Hukum” nomor 1
disebutkan,”Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati,
keberadaannya dan tidak boleh dirusak.” Ini artinya, menurut MUI hukum asal
otopsi adalah haram.
Kemudian pada “Ketentuan Hukum” nomor 2 pada Fatwa MUI tersebut disebutkan,
“Otopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang
punya kewenangan untuk itu.” Ini berarti hukum asal otopsi tersebut
dikecualikan, yaitu otopsi yang asalnya haram kemudian dibolehkan asalkan ada
kebutuhan dari pihak berwenang.
Kebolehan otopsi tersebut menurut MUI harus memenuhi 4 (empat)
syarat. Dalam “Ketentuan Hukum” nomor 3 pada Fatwa MUI tersebut, disebutkan 4
syarat tersebut, yaitu:
(1)
otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i (seperti
mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran,
atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga yang berwenang
dan dilakukan oleh ahlinya,
(2)
otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan,
(3)
jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan,
dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, dan
(4)
jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya
sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari
Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.” [9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sesuai
dengan pembahasan yang sudah dikemukakan pada makalah ini, maka perihal status
hukum bedah mayat ditinjau menurut hukum Islam melalui pendekatan teori-teori
pada kaidah fiqhiyah, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Bedah mayat adalah suatu tindakan dokter ahli untuk membedah mayat karena
dilandasi oleh suatu maksud atau kepentingan-kepentingan tertentu seperti:
kepentingan penegakkan hukum; menyelamatkan janin yang masih hidup di dalam
rahim mayat; untuk mengeluarkan benda yang berharga dari mayat; dan untuk
keperluan penelitian ilmu kedokteran. Tindakan pembedahan yang didasari oleh
motif-motif tersebut dibolehkan dalam ajaran Islam, bahkan bisa dihukumkan
wajib apabila keperluan bedah itu menempati level hajat atau darurat.
2.
Hadits yang melarang memecahkan tulang mayat atau dengan kata lain merusak
mayat adalah apabila bedah mayat atau autopsi yang dilakukan seseorang tersebut
dilakukan tanpa tujuan yang benar, maka hukumnya haram. Termasuk pula bila
pembedahan mayat itu melampaui batas dari hajat yang dibutuhkan .
Bahwa sesorang yang sudah meninggal dunia
boleh dibedah (diotopsi) mayatnya tersebut, itu dikarenakan empat hal:
1. Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat.
2.
Untuk mengeluartkan benda yang berharga dari tubuh mayat
3. Untuk
kepentingan penegakan hukum, dan
4. Untuk
kepentingan penelitian ilmu kedokteran
[1] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-haditsah: Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
152.
[2]
Mahjuddin, Masail Al-Fiqh: Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam (
Jakarta: Kalam Mulia,2012), hlm.121.
[3] M. Ali Hasan, Op. Cit, hlm. 153-154.
[4] Mahjudin, Op.Cit, hlm.
123-125.
[6] Ibid., hlm 157-158.
[7] Departemen Agama RI, AL-Quran dan Terjemahannya ( Bandung: CV.
J-ART , 2010), hlm.341.
[8] M. Ali Hasan, Op.Cit, hlm. 158-159.
[9] http://hizbut-tahrir.or.id/2014/12/17/hukum-otopsi-dalam-pandangan-syariah-islam/.
Diakses pada tanggal 30 maret 2015 pukul 11.00 wib.
Izin untuk digunakan sebaai refensi ... terimakasih
ReplyDelete